Pengertian
Pembuktian
Yang
dimaksud dengan pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan.
Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal adanya perselisihan sehingga dalam
perkara perdata di muka pengadilan, terhadap hal-hal yang tidak di bantah oleh
pihak lawan, tidak memerlukan untuk dibuktikan.
Menurut Roihan A. Rasyid berpendapat
bahwa alat bukti atau pembuktian adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan
oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyakinkan hakim di muka pengadilan. Di
pandang dari sudut hakim memeriksa perkara, alat bukti artinya alat atau upaya
yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk memutus perkara. Jadi alat bukti
tersebut dapat dipergunakan oleh pencari keadilan dan pengadilan.
Tujuan pembuktian adalah untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar –
benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim
tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa
fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar – benar tejadi, yakni dibuktikan
kebenarannya, sehingga Nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.
A. Bukti
Surat
Alat
bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah fikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak
memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi
tidak mengandung buah fikiran, bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis
atau surat-surat.
Dalam
praktek di pengadilan dalam peradilan agama. Alat-alat bukti yang diterapkan
adalah sama dengan yang diatur dalam pasal 138, 164, 165, 167 HIR (Pasal
285-305 Rbg, Pasal 1867-1894 BW). Akta sebagai alat bukti diakui keberadaanya
oleh hakim-hakim pada peradilan agama. Sebab Al-Qur’an mengakui
keberadaan akta (surat) ini sebagai alat bukti, sebagai mana dalam surat
Al-Baqarah ayat 282, yang artinya:
“ Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalat (melakukan hubungan-hubungan keperdataan)
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seseorang menulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah menulis engan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlaknya (mendektekan atau
membacakannya) apa yang akan ditulis itu dan hendaklah ia bertaqwa kepada
tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau (keadaanya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”.
Surat-surat
sebagai alat bukti tertulis terbagi kepada “akta” dan “selain akta”. Akta ialah
suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan ditandatangani. Contoh akta ialah surat perjanjian
jual-beli, surat perjanjian sewa-menyewa, kuitansi pembayaran, akta nikah dan
lain-lain, karena ia dibuat untuk bukti dan ditandatangani.
Akta
itu terbagi mnjadi “akta otentik” dan “akta bukan otentik”:
a. Akta
Otentik
Akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang
untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Sebagai pejabat
yang berwenang yang dimaksudkan adalah Notaris, Juru Sita, Panitera dan Hakim
Pengadilan, Pegawai Catatan Sipil, Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan
lain-lain.
Menurut
pasal 1868 BW, akta otentik tersebut ada yang dibuat “oleh pejabat yang
berwenang” dan ada yang dibuat “di hadapan pejabat yang berwenang”. Dibuat
“oleh” apabila pejabat yang berwenag tersebut membuat tentang apa yang
dilakukannya, misalnya juru sita pengadilan membuat berita acara pemangilan
pihak-pihak berperkara. Dibuat “dihadapan” ialah apabila pejabat yang berwenang
tersebut menerangkan apa yang dilakukan oleh orang lain tersebut dan sekaligus
meletakkannya didalam suatu akta.
Akta
otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat, baik bagi
pihak-pihak maupun bagi ahli warisnya atau bagi orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya, artinya hakim harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan
pembuktian lain, kecuali memang dapat dibuktikan tentang ketidak benarannya
(tentunya denga alat bukti lain dan alasan yang lebih kuat).
b. Akta
di Bawah Tangan (Akta Bukan Otentik)
Akta
dibawah tangan atau akta bukan otentik adalah segala tulisan yang memang
sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat dihadapan atau oleh
pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah pula terikat kepada
bentuk tertentu.
Kekuatan
akta bukan otentik, hakim menilainya bebas, akan tetapi jika akta yang bersifat
dibuat oleh ke dua belah pihak, seperti jual beli tanah yang bukan otentik,
apabila tanda tangan yang tercantum di dalamnya diakui oleh pihak yang
menandatanganninya maka akta tersebut mempunyai kekuatan sama dengan akta
otentik, tetapi tetap masih mempunyai perbedaan dengan akta otentik. Akta
otentik berlaku bagi ke dua belah pihak, bagi pihak ketiga dan bagi siapapun
juga, sedangkan akta di bawah tangan tadi hanya berlaku bagi kedua belah pihak,
bagi ahli warisnya dan bagi orang yang memperoleh hak daripadanya, tidak untuk
pihak ke tiga dan semua oarng lainnya.
B. Saksi
1. Pengertian
Kesaksian
Sudikno
Mertokusumo berpendapat, bahwa kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada
hakim dipersidangan mengenai peristiwa yang disengketakan dengan jalan
memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan.
Dalam
Hukum Acara Perdata Islam kesaksian disebut “syahadat” yang berasal dari kata “Musyahadah “,
yaitu menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Syahadah dibedakan antara “Syahid
“ (saksi laki-laki) dan “ Syahidah “ (saksi perempuan).
Kebanyakan
ahli hukum islam menyamakan “Syahadah” (kesaksian) dengan “Bayyinah” (alat-alat
bukti). Apabila kesaksian disamakan dengan alat-alat bukti, berarti pembuktian
dimuka peradilan islam atau peradilan agama hanya mungkin dengan saksi saja,
sebab Rasulullah SAW mengatakan “al bayyinatu ‘ala al mudda’l wa al yamin ‘ala
man ankar”, yang artinya jika bayyinah diartikan sebagai kesaksian “saksi
dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”.
Jadi
saksi ialah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi
syarat – syarat tertentu, tentanh suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat,
dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadi peristiwa atau keadaan
tersebut.
2. Syarat
Saksi dan Kesaksiannya
Seorang
saksi di dalam memberikan keterangan atau kesaksiannya harus terang dan jelas,
serta kesaksiannya itu merupakan mengenai peristiwa yang dialami sendiri dan
bukan diperoleh atau didengar oleh orang lain.
Saksi
disyaratkan seseorang yang telah dewasa dan berakal sehat serta adil.
Disyaratkan saksi yang telah dewasa dan berakal sehat telah dapat
mempertanggung jawabkan segala ucapan dan perbuatannya secara mandiri dihadapan
tuhan. Demikian pula saksi yang disyaratkan seorang yang adil, sebab keadilan
para saksilah yang menyebabkan hakim menerima atau menolak kesaksian.
Seorang
saksi juga disyaratkan beragama islam, namun dalam perkara tertentu dalam
AL-Qur’an Surat Al-Baqoroh ayat 282 yaitu,” dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi laki-laki (diantaramu), juga dalam Surat Al-Maidah ayat
106 yaitu: “ jika kamu menghadapi kematian, sedang kamu akan berwasiat, maka
hendaklah (wanita itu) disaksikan dua orang yang adil diantara kamu, atau dua
orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi
(musyafir) lalu kamu ditimpa bahaya kematian”.
Yang
dimaksud dengan kata “diantaramu” dalam Al-Qur’an tersebut adalah orang-orang
yang beragama islam, jadi pada hakekatnya seorang saksi harus berasal dari
golongan orang-orang islam, kecuali terhadap perkara wasiat dalam perjalanan
diperbolehkan penggunaan saksi yang tidak beragama islam. Bukti saksi diatur
dalam pasal 168 – 172 HIR/ pasal 165 – 179 RBg.
3. Variasi
Alat Bukti Saksi
Hukum
asal saksi sebagai alat bukti, cukup 2 orang lelaki sebagaimana sudah
dijelaskan, tetapi dalam bebeapa jenis perkara, nampaknya alat bukti ini
bervariasi, seperti:
a) Dalam
perkara zina atau tuduhan zina, saksinya 4 oarang lelaki yang beragama islam.
b) Jika
menuduh istri sendiri telah berzina (tidak berlaku bagi tuduhan terhadap
perempuan selain istri) tetapi tidak mampu mendatangkan 4 orang saksi lelaki
yang beragama islam, dapat dibuktikan dengan suami mengucapkan sumpah li’an.
c) Pembuktian
saksi bagi wasiat harta dalam perjalanan (musafir) oleh 2 orang lelaki yang
beragama islam, atau oleh seorang lelaki bersama 2 orang perempuan beragama
islam semua, atau boleh oleh 2 orang lelaki yang bukan beragama islam, atau
oleh seorang lelaki bersama 2 orang perempuan yang semuanya bukan beragama
islam.
d) Pembuktian
perkara hudud selain zina, termasuk hudud qisas badan atau qisas jiwa, dengan 2
orang saksi lelaki yang beragama islam.
e) Pembuktian
saksi yang terdiri cukup oleh seorang lelaki bersama 2 orang perempuan yang
beragama islam, yaitu dalam perkara harta benda, perkawinan, wasiat, hibah,
waqaf, iddah, perwakilan, perdamaian, pengakuan, pembebasan, dll.
f) Pembuktian
dengan perempuan semua, 2 orang atau 4 orang dalam perkara-perkara yang
lazimnya hanya diketahui leh perempuan, seperti tentang keperawanan,
susuan,dll.
Dasar
yang mengatakan dengan 2 orang perempuan karena di jenis perkara seperti itu
pengetahuan perempuan sama dengan pengetaahuan lelaki sedangkan dasar yang
mengatakan 4 orang perempuan karena Rasulullah SAW mengatakan bahwa kesaksian
perempuan setengah kesaksian lelaki.
g) Pembuktian
dengan seorang saksi ditambah sumpah dari pihak yang memiliki saksi itu (al
yamin ma’a asy syahid).
h) Ada
pula ahli hukum islam yang membolehkan pembuktian dengan seorang saksi saja,
yaitu dalam kesaksian awal bulan ramadhan.
i) Ada
pula ahli hukum islam yang membolehkan pembuktian hanya denga seorang perempuan
saja terdapat jenis-jenis perkara yang tersebut di butir f diatas.
4. Sumpah
Bagi Saksi
Menurut
Mazhab Hanafi, seorang saksi sebelum memberikan kesaksiannya tidak perlu lagi
disumpah, sebab lafal kesaksiannya itu sendiri mengandung arti sumpah, yaitu
didalamnya terkandung kata “billahi” (demi Allah).
Mazhab
Maliki dan sebagian ahli hukum islam lainnya membolehkan saksi itu disumpah.
Mengingat keadilan saat ini telah banyak diragukan. Sehingga kesaksiannya perlu
dikuatkan dengam sumpah. Demikian pula Ibnu Al-Qoyyim al Jauziyah membolehkan
hakim menyuruh saksi untuk bersumpah jika ia ragu-ragu akan kebenaran
keterangan saksi.
Mengingat
saksi dalam pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama mungkin saja bukan
orang islam seperti dalam perkara wasiat dalam perjalanan, maka lafad sumpah
harus dilakukan menurut agamanya masing-masing. Menurut agama islam redaksi
sumpah itu harus mengandung kata “billahi” (demi allah) dan bukan lainnya.
Dalam
pemeriksaan saksi dipersidangan, hakim harus memisahkan masing-masing saksi,
sehingga antara saksi dengan saksi lainnya tidak akan saling mendengar.dalam
peradilan islam, Khalifah Ali bin Abi Thalib lah yang pertama kali melakukan
pemeriksaan terhadap saksi tidak bersama-sama, melainkan memeriksanya satu demi
satu. Ibnu Al Qoyyim dalam hal ini juga membolehkan hakim memisah pemeriksaan
terhadap saksi-saksi yang demikian tersebut.
5. Nilai
Kekuatan Pembuktian Saksi
Pada
umumnya nilai kekuatan pembuktian dari alat bukti saksi dalam Hukum Acara
Perdata Islam adalah bebas, dalam arti terserah kepada hakim, apakah ia akan
mempercayainya atau tidak.
Demikian
pula yamin (sumpah) dan nukul (menolak sumpah) dimasukkan kedalam alat bukti
sumpah, sebab pada hakekatnya nukul itu tidak lain berkaitan dengan sumpah,
sedangkan qasamah (bersumpah 50 orang) tidak dimasukkan dalam alat bukti
sumpah, sebab biasanya digunakkan dalam perkara pidana islam, sehinga idak ada
relevansinnya dengan kompetensi peradilan agama di Indonesia. Disamping itu
dimasukkan pula sumpah lian sebagai bagian dari alat bukti sumpah.
Alat
bukti lain yang berlaku di Peradilan Agama adalah pemeriksaan setempat
(descente) dan ketereangan ahli (ekspertise). Dasar pemeriksaan setempat
sebagai alat bukti adalah berdasarkan qiyas ( analogi ) terhadap pasal 153 HIR
(pasal 180 Rbg) dan untuk kebutuhan praktik pengtadilan.
Penerappan
alat – alat bukti tersebut oleh peradilan agama yang sesuai dengan peradilan
umum, pada hakekatnya tidak bertentangan dengan hukum acara perdata. Menurut
Hasbi Ash Shiedieqy alat bukti yang terpokok yang diperlukan dalam soal gugat
menggugat hanya 3 saja yaitu:
a. Iqrar
(pengakuan)
b. Syahadat
(kesaksian)
c. Yamin
(sumpah)
c. Bukti
Persangkaan
Persangkaan
ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau
dianggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum
terbukti, baik yang berdasarkan undang – undang atau kesimpulan yang ditarik
oleh hakim. Persangkaan
diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW.
Ada
2 macam bentuk persangkaan:
a. Persangkaan
yang berupa kesimpulan berdasarkan undang – undang.
b. Persangkaan
yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul
dipersidangan.
Syarat – syarat bukti
persangkaan hakim
Persangkaan
merupakan dugaan hakim, tentang dugaan hakim dan kesimpulan yang ditarik hakim
maka ada lima syarat yaitu:
1. Dugaan menggenai
suatu kejadiaan harus didasarkan atas hal – hal yang telah terbukti.
2. Hakim harus
berkeyakinan bahwa hal – hal yang telah terbukti itu dapat menimbulkan dugaan
terhadap terjadinya sesuatu peristiwa yang lain.
3. Hakim dalam
mengambil dari bukti – bukti itu tidak boleh mendasarkan keputusannya atas
hanya satu dugaan saja.
4. Dugaan atau pers
angkaan itu harus bersifat penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu
sama lain.
5. Persangkaan semacam
ini hanya boleh diperhatikan dalam hal undang – undang membolehkan pembuktian
dengan saksi.
D. Bukti
pengakuan
Pengakuan
adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak
memerlukan persetujuan pihak lain. Pengakuan sebagai alat bukti diatur
dalam pasal 174, 175, 176 HIR, pasal 311, 312, 313 Rbg dan pasal 1923 – 1928
BW.
Dasar
Pengakuaan sebagai alat bukti menurut acara peradilan peradilan islam antara
lain: surat an Nisa’ ayat 135 yanng artinya, “hai orang – orang yang
beriman, jadilah kamu orang – orang yang benar – benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri” . orang
menjadi saksi atas dirinya sendiri adalah dengan pengakuan.
Pengakuan
menurut hukum acara perdata islam adalah alat bukti yang terkuat. Pengakuan
dapat diberikan dimuka hakim dipersidangan atau diluar persidangan. Selain itu,
pengakuan dapat pula diberikan secara tertulis maupun lisan didepan sidang.ada
beberapa macam bentuk pengakuan yaitu:
a. Pengakuan
murni dimuka sidang
Pengakuan
murni ialah pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan
tuntutan pihak lawan. Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas.
Pengakuan murni dimuka sidang merupakan bukti yang sempurna terhadap yang
melakukannya, dan bersifat menentukan karena tidak memungkinkan pembuktian
lawan.
b. Pengakuan
dengan kualifikasi
Pengakuan
dengan kualifikasi ialah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap
sebagian dari tuntutan. Pengakuan yang seperti ini haruslah diterima seutuhnya
dan tidak boleh dipisah – pisahkan sehingga merugikan pihak yang member
pengakuan.
c. Pengakuan
dengan clausula
Pengakuan
dengan clausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan
yang bersifat membebaskan.
d. Pengakuan
tertulis
Ada
dua kemungkinan dalam pengakuan yang diberikan secara tertulis oleh tergugat:
1. Tergugat
hadir didepan sidang dan
2. Tergugat
tidak hadir didepan sidang
Apabila
tergugat hadir didepan sidang dan memberikan pengakuan secara tertulis maka
dapat dikategorikan kepada tiga macam pengakuan tersebut yaitu:
1. Pengakuan
murni
2. Pengakuan
dengan kualifikasi
3. Pengakuan
dengan clausula
e. Pengakuan
lewat kuasa hukum/ wakil
Pengakuan
yang diberikan lewat kuasa hukum/ wakil yang memang dikuasakan untuk itu,
nilainya sama dengan pengakuan yang diberikan oleh tergugat pribadi.
f. Pengakuan
lisan diluar sidang
Yaitu
suatu pengakuan yang diucapkan oleh salah satu pihak dalam perkara perdata
untuk membenarkan pernyataan yang diberikan oleh pihak lawannya.
g. Pengakuan
dalam sengketa perkawinan
Dalam
sengketa perkawinan, pengakuan pihak mempunyai spesifikasi tersendiri dalam
dalam hukum pembuktian, lebih – lebih lagi dalam perkara perceraian.
E. BUKTI
SUMPAH
Sumpah
ialah suatu pernyataan yang diberikan atau di ucapkan pada waktu member janji
atau keterangan dengan mengingat sifat maha kuasa tuhan dan percaya bahwa siapa
yang member keterangan atau janji yang tidak benar akan di hukum olehnya.
Ada
dua (2) macam sumpah:
1. Sumpah/
janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disebut sumpah
promissoir.
2. Sumpah/
janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian
atau tidak benar, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir.
Sumpah promissoir dilakukan
oleh saksi atau ahli (juga juru bahasa dan hakim), dengan ciri-ciri:
a. Sumpah
diucapkan sebelum mereka memberikan keterangan / melakukan sesuatu.
b. Sumpah
berfungsi sebagai syarat formil sahnya suatu keterangan / tindakan.
c. Sumpah
ini bukan merupakan alat bukti.
d. Sumpah
ini tidak mengakhiri sengketa.
Sumpah assertoir
(confirmatior) dilakukan oleh para pihak dalam perkara, dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Sumpah
diucapkan sesudah mereka memberi keterangan atau melakukan sesuatu.
b. Sumpah
berfungsi untuk meneguhkan suatu peristiwa atau hak.
c. Sumpah
ini termasuk alat bukti.
d. Sumpah
mengakhiri sengketa.
Rincian Macam-Macam
sumpah Promissoir dan sumpah Assertoir.
a. Sumpah
Promissoir
1) Sumpah
Jabatan
2) Sumpah
Pegawai Negeri Sipil
3) Sumpah
Saksi
4) Sumpah
Ahli
5) Sumpah
Tolk (juru bahasa)
6) Sumpah
Hakam
b. Sumpah
assertoir (confirmatoir)
1) Sumpah
Suppletoir (pelengkap)
2) Sumpah
decissoir (pemutus)
3) Sumpah
Penaksir
4) Sumpah
Li’an
5) Sumpah
Istidhhar (Yaminul istidhhar)
Pembuktian dengan
sumpah
1. Tata cara
sumpah Suppletoir
Sumpah
suppletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada
salah satu pihak yang berperkara untuk melengkapi pembuktian peristiwa atau hak
yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
Sumpah dilakukan dengan
tata cara yang diatur dalam pasal 157,158 HIR sebagai berikut:
a. Sumpah
harus dilakukan di depan sidang pengadilan
b. Pada
sidang pengucapan sumpah harus dihadiri oleh pihak lawan, kecuali dalam hal
pihak lawan telah dipanggil untuk itu tetapi tidak hadir tanpa alasan yang sah
dan tidak pula mewakilkan kepada orang lain untuk hadir.
c. Sumpah
harus diucapkan sendiri oleh pihak yang bersangkutan atau oleh wakilnya.
d. Bunyi
sumpah harus sesuai dengan yang diperintahkan oleh hakim.
Kekuatan
pembuktian sumpah suppletoir bersifat:
a. Menyelesaikan
perkara
b. Memiliki
kekuatan pembuktian sempurna
c. Masih
memungkinkan adannya bukti lawan
d. Dapat
dibatalkan dengan putusanhakim yang lebih tinggi
e. Apabila
sumpah itu terbukti palsu, maka dapat dijadikan alasan mohon peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung.
2. Tata cara
sumpah decisoir
Sumpah
decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada
lawannya (pasak 156 HIR, pasal 183 RBg, pasal 1930 BW)
Syarat-syarat dapat
dikabulkan permintaan sumpah decisoir, ialah:
a. Dapat
dikabulkan mengenai berbagai hal peristiwa yang menjadi sengketa.
b. Bukan
mengenai pelbagai pendapat tentang hukum atau hubungan hukum.
c. Harus
mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang disuruh bersumpah
atau bersama-sama pula dengan pihak yang meminta sumpah.
d. Bunyi
sumpah harus sesuai dengan hal/peristiwa yang menjadi sengketa, sehingga
benar-benar bersifat memutus.
Sumpah dilakukan
menurut tatacara yang diatur dalam pasal 157,158 HIR/185 RBg sebagai berikut:
a. Sumpah
harus dilakukan di depan sidang pengadilan, kecuali dalam hal hakim, atas
permintaan deferent atau kuasannya, menetapkan lain.
b. Sumpah
harus diucapkan sendiri oleh delaat, kecuali jika diwakilkan kepada orang lain.
c. Bunyi
sumpah harus sesuai dengan yang diminta deferent.
d. Pengucapan
sumpah harus dihadiri pihak lawan, kecuali dalam hal telah dipanggil dengan
patut namun tidak hadir dalam sidang tanpa sesuatu alasan yang sah.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa:
1. pembuktian adalah
menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di
muka sidang dalam suatu persengketaan. Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal
adanya perselisihan sehingga dalam perkara perdata di muka pengadilan, terhadap
hal-hal yang tidak di bantah oleh pihak lawan, tidak memerlukan untuk
dibuktikan.
2. Alat
bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah fikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian.
3. Dalam
persaksian terdapat hal-hal berikut:
a. Syarat
saksi dan kesaksiannya
b. Kewajiban
saksi
c. Golongan
yang dianggap tidak mampu menjadi saksi
d. Variasi
alat bukti saksi
e. Sumpah
bagis saksi
f. Nilai
kekuatan pembuktian saksi.
4. Ada
2 macam bentuk persangkaan:
a. Persangkaan
yang berupa kesimpulan berdasarkan undang – undang.
b. Persangkaan
yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul
dipersidangan.