BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran
manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak
didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi
dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses
itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Dalam pembahasan kali ini yaitu mengenai Hak Asasi
Manusia dalam perspektif Filsafat Hukum, bagaimana kita dapat berfikir secara
logis tentang kehidupan HAM yang ada dimuka bumi ini, dalam hal ini tentu saja
kita membicarakan mengenai sisi keadilannya, bagaimana komposisi keadilan itu
sendiri dalam kehidupan berfalsafah. Sesungguhnya pada dasarnya sebuah keadilan
didapatkan oleh manusia secara bebas dan itu merupakan haknya ketika mereka
sudah terbentuk seperti janin ketika berada dalam kandungan ibu. Pada zaman
sekarang ini semua orang mengenal sebutan “keadilan” , tetapi sayangnya mereke
mencederai nama keadilan itu sendiri dengan sikap mereka yang tidak memikirkan
orang lain, tetapi hanya memikirkan dirinya saja dan kelompoknya saja. Betapa
ironisnya ketika keadilan itu keluar dari jalan yang benar karena pikiran
manusianya dalam berfalsafah yang telah menyimpang dari aturan-aturan atau
kaidah-kadiah yang ada.
Keadilan merupakan posisi yang teratas dalam moralitas
bereaksi, kita harus menggunakan sikap keadilan tanpa pandang bulu, tidak
bertindak berdasarkan kasta atau staus sosial yang ada, sebab pada dasarnya
Indonesia mengandung azas “equality before the law”. Filsafat hukum harus dapat
menekan segala problematika hukum yang ada di dalam negara ini maupun di dunia
ini, tidak boleh adanya proses presure of
mind atau presure of react dalam
menjalankan sikap hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
A.
PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha
Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Pada hakikatnya HAM terdiri dari atas
dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan.
Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak dasar
ini hak asasi manusia lainnya sulit ditegakkan.
Hak
asasi manusia dimaksud di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Dasar 1945,
baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Batang tubuh dimaksud, dapat
diungkapkan beberapa pasal diantaranya: Pasal 5 ayat (1), 20 ayat (1), 26, 27,
28, 29, 30, 31, 32, 33 ayat (1) dan ayat (3), dan 34. Namun, hak asasi manusia
secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
Hak
asasi manusia yang bertujuan untuk: (1) mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi pelaksanaan hak asasi manusia
sesuia dengan pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; (2)
meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan.[1]
B.
RUANG LINGKUP HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Hak
asasi manusia mempunyai ruang lingkup yang luas dan mencakup berbagai aspek
kehidupan. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
1.
Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan hak miliknya;
2.
Setiap
orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja
ia berada;
3.
Setiap
orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
4.
Setiap
orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan kehidupan
pribadi di dalam tempat kediamannya;
5.
Setiap
orang berhak atas kemerdekan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui
sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau
kekuasaan lain yang sah sesuai dengan Undang-Undang;
6.
Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa;
7.
Setiap
orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau
dibuang secara sewenang-wenang;
8.
Setiap
orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan
tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi
manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Dari pengertian dan ruang lingkup hak asasi
manusia tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa di negara Republik
Indonesia yang berdasar atas hukum amat
dihormati dan dijunjung tinggi hak asasi manusia.
C.
LATAR BELAKANG HAK ASASI MANUSIA
Hak
asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan
kewajiban yang lain. Yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia ini mencakup
sekumpulan hak,seperti hak hidup dengan selamat serta hak kebebasan dan
kesamaan, yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Hak-hak
asasi manusia dapat pula dibagi sebagai berikut:
1.
Hak-hak
asasi pribadi.
2.
Hak-hak
asasi ekonomi.
3.
Hak-hak
untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
4.
Hak-hak
sosial dan budaya
5.
Hak-hak
asasi untuk mendapatkan perlakuan tata peradilan dan perlindungan.
Menjadi kewajiban pemerintah atau negara hukum untuk mengatur
pelaksanaan hak-hak asasi ini, yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur
pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara.
Dengan adanya kemakmuran masing-masing individu, kemakmuran masyarakat
keseluruhan akan tercapai. Pandangan demikian adalah pandangan liberal yang
sangat mengedepankan individu.
D.
HAK ASASI MANUSIA DAN WIBAWA HUKUM
Wibawa hukum diperlukan pula untuk
penegakan hak asasi manusia. Orang sering kurang mengetahui dan menyadari bahwa
HAM mempunyai hubungan yang erat dengan wibawa hukum. Kalau berbicara tentang
HAM, maka hanya masalah ini saja yang
disoroti. Demikian juga sebaliknya.
Padahal HAM dan wibawa hukum merupakan
dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dengan sisi yang lain. Charles Himawan
mengungkapkan bahwa di negara berkembang baik yang sudah tergolong dalam
kelompok Newly Industrialized countries (NIC) maupun yang masih tergolong sebagai Less Developed Countries (LDC) hubungan
antara HAM dengan wibawa hukum seringkali dilupakan. Demikian yang diungkapkan
oleh masyarakat yang mendiami beberapa negara maju (Developed Countries).
Indonesia adalah negara yang kuat, Indonesia merupakan negara yang
berkembang tetapi dalam proses peradilannya Indonesia masih di belakang negara
maju dalam hal penegakan keadilannya. Indonesia saat ini mempunyai peluang
untuk mengurangi sifat keterbelakangan itu berdasarkan.
Pertama, mayoritas anggota Komnas HAM
mempunyai latar belakang pendidikan hukum sehingga tidak ada kesulitan untuk
masuk kedalam bidang hukum untuk menangani problematical
cases of law.
Kedua, beberapa anggota Komnas HAM
merupakan mantan hakim, jaksa, dan pengacara sehingga mereka mumpuni dalam
memberikan masukan kepada Komnas HAM yang perlu ditempuh untuk melakukan
balancing wibawa.
Ketiga, wibawa hukum di Indonesia
rendah oleh karena itu Indonesia dikatakan sebagai inferior country. [2]
E.
PERIODE HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA
MATERI MUATAN HAM DALAM UUD 1945
Menyikapi
jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat pandangann yang beragam. Setidaknya,
terdapat tiga kelompok pandangan, yakni : pertama, mereka yang berpandangan
bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan HAM secara komprehensif; kedua, mereka
yang berpandangan bahwa UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif;
dan berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok jaminan atas HAM.[3]
Pandangan pertama didukung oleh Mahfud MD dan Bambang. Hal ini didasarkan
bahwa istilah HAM tidak ditemukan secara pribadi di dalam Pembukaan, Batang
Tubuh, maupun Penjelasannya. Menurut Sutiyoso, di dalam UUD 1945 hanya
ditemukan penjelasannya dengan tegas perkataan hak dan kewajiban wraga negara
dan hak DPR.[4] Menurut mahfud, tidak
sedikit orang yang berpendapat bahwa UUD 1945 tersebut sebenarnya tidak banyak
memberi pada HAM, bahkan UUD 1945 tidak berbicara apa pun tentang universal
kecuali dalam dua hal, yaitu sila ke empat Pancasila cetakkan atas “Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab” dan pasal penendervasikan jaminan “Kemerdekaan tiap
penduduk untuk memeluk agama dan beribadah.
Hal yang sama
ditegaskan Azhary, kalau ada yang beranggapan UUD 1945 tidak atau kurang
menjamin HAM, itu adalah suatu anggapan yang keliru. Selengkapnya ia
mengatakan:
”apabila
diperhatikan baik pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945, ternyata cukup banyak
memerhatikan hak-hak asasi. Berdasarkan itu, UUD 1945 mengakui hak asai
Individu, tetapi tidak berarti sebagai kepentingan perseorangan ataupun
komunisme-fasisme yang mengutamakan masyarakatnya atau negaranya. Dengan
demikian kepentingan hak asasi individu diakui substansinya, namun dibatasi
jangan sampai melanggar hak individu lainnya ataupun hak asasi orang banyak rakyat.”
Terdapat dua
pandangan untuk melihat HAM dalam UUD 1945, yakni sebagai berikut :
Pertama segi filosofis. Sesuai dengan asas demokrasi yang digariskan dalam
pola dasar pembangunan nasional, demokrasi yang ingin diketengahkan adalah
demokrasi berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-bidang politik, sosial,
dan ekonomi, serta dalam penyelesaian masalah-masalah nasional berusaha sejauh
mungkin menempuh jalan permusyawaratan untuk mencapai mufakat. Pada pokoknya,
prinsip inilah yang dianut dalam UUD 1945 sebagai konstitusi yang dijiwai oleh
filsafat pancasila. Ini berarti bahwa di dalam UUD 1945 ada dicantumkan
kewajiban dasar di samping adanya hak-hak dasar. Kewajiban dasar dimaksudkan
secara garis besarnya yang tersurat adalah kewajiban menjunjung hukum dan
pemerintahan. Kedua, segi yuridis. Suatu pandangan mengatakan “waktu UUD
1945 dirancang, maka kata pembukaannya menjamin demokrasi revolusioner.
Akibatnya pendirian ini yaitu hak dasar tidaklah diakui seluruhnya, melainkan
satu dua saja yang kira-kira sesuai dengan suasana politik dan sosial pada
tahun 1945. Yang dipengaruhi oleh peperangan antara negara fasisme melawan demokrasi.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam UUD 1945 tidak ditemukan sebuah pengaturan yang tegas,
akibatnya muncul berbagai intrepretasi terhadap muatan kualitas muatan dan
jaminan UUD 1945 atas HAM. Akan tetapi, satu hal yang patut mendapat apresiasi
positif adalah, bahwa para pendiri Bangsa Indonesia telah berhasil
memfomulasikan sebuah tatanan kehidupan nasional berikut jaminan atas HAM.
MATERI MUATAN HAM DALAM KONSTITUSI RIS 1949
Penekanan dan jaminan Konstitusi RIS atas HAM, secara historis, sangat
dipengaruhi oleh keberadaan Universal Declaration of Human Rights (UDHR/DUHAM)
yang dirumuskan oleh PBB pada 10 desember 1948. Dalam konteks negara bangsa,
maka diseminasi HAM versi PBB pada waktu itu sangat dirasakan memengaruhi
konstitusi-kontitusi negara-negara di dunia, termasuk konstitusi RIS 1949.
Meskipun tidak ditemukan kata Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi
RIS, namun ada tiga kalimat yang dipergunakan, yakni setiap/segala/sekalian
orang/siapa pun/tiada seorang pun, setiap warga negara, dan berbagai kata
yang menunjukkan adanya kewajiban asasi manusia, dan negara.
Keseluruhan kata ini dapat ditafsirkan kepada makna dan pengertian HAM yang
sesungguhnya. Dengan kata lain, manusia secara pribadi, kelompok, keluarga, dan
sebagai warga negara benar-benar ditegaskan sebagai mereka yang mendapatkan
jaminan dalam Konstitusi RIS.
Hak-hak asasi manusia sebagai bagian dalam keluarga juga ditegaskan dalam
Konstitusi RIS, sebagaimana terdapat dalam pasal 37 yang berbunyi, “keluarga
berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara”. Keberadaan pasal ini
menunjukkan elemen keluarga sebagai unit terkecil dalam sebuah negara patut
memperoleh jaminan konstitusi.
Kemudian manusia sebagai warga negara juga memiliki hak-hak dasar
yang memperoleh jaminan dalam Konstitusi RIS. Menariknya, status manusia
sebagai warga negara tidaklah menghilangkan statusnya sebagai seorang
pribadi/individu dan keluarga. Keempat, kewajiban asasi manusia dan negara.
Sebagaimana dipahami bahwa hak sangat terkait dengan kebebasan dan kewajiban,
maka sebagai pribadi, manusia memiliki kewajiban, begitu pula halnya negara.
Penegasan ini tercantum dalam pasal 23 yang berbunyi,”setiap warga negara
berhak dan berkewajiban turut serta dan sungguh-sungguh dalam pertahanan
kebangsaan”. Pasal 31 juga menyatakan secara eksplisit, yaitu “setiap orang
yang ada di daerah negara harus aptuh kepada UU, termasuk aturan-aturan hukum
yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak
sah”.
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dikatakan bahwa HAM dalam
Konstitusi RIS menempati posisi penting yang menunjukkan terdapatnya sebuah
jaminan dan perlindungan yang ideal. Meski Konstitusi RIS terbilang
“sementara”, namun kenyataannya muatan-muatan hak asasi mendapatkan jaminan
konstitusional. Jaminan atas hak-hak asai tersebut semakin dikuatkan dengan
terdapatnya kewajiban asasi yang harus dilaksanakan oleh penguasa/pemerintah.
MATERI MUATAN HAM DALAM UUDS 1950
Secara
anatomik, UUDS 1950 terdiri atas 6 Bab dan 146 Pasal. Sebagaimana
ditegaskan diatas bahwa materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan atas
Konstitusi RIS 1949, maka perihal HAM juga disamping memiliki kesamaan secara
umum, terdapat juga perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Seiring dengan perubahan bentuk negara dari Serikat ke bentuk negara
kesatuan Republik Indonesia, berubah pula konstitusinya. Melalui UU No. 7 Tahun
1950 ditetapkan perubahan konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi UUDS Republik Indonesia. Karena UUD ini asalnya dari konsntitusi RIS,
maka tidak ada perubahan substansi yang mencolok di dalamnya, kecuali dalam hal
bentuk negara dan beberapa pasal yang menyesuaikan dengan perubahan struktur
negara. Dalam hal perlindungan HAM, UUDS 1950 juga tidak terlalu berbeda dengan
apa yang diatur dalam konstitusi RIS.
Menurut catatan Soepomo, setidaknya
terdapat beberapa perbedaan mendasar Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam
hal penegasannya tentang HAM. Pertama, hak dasar mengenai kebebasan agama,
keinsyafan batin dan pikiran meliputi kebebasan bertukar agama atau
keyakinannya, dan sebagainya sebagaimana tertuang pada pasal 18 Konstitusi RIS,
oleh pasal 18 UUDS 1950, pernyataan meliputi kebebasan bertukar agama atau
keyakinan tidak ditegaskan lagi.
Kemudian
yang kedua didalam Pasal 21 UUDS 1950 diatur perihal hak berdemonstrasi dan hak
mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada Konstitusi RIS, dan ketiga dasar
perekonomian sebagaimana dimuat pada pasal 33 UUD 1945, diadopsi kedalam pasal
38 UUDS 1950. Dalam pada itu, Pasal 37 ayat (3) melarang organisasi
–oirganisasi yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan perekonomian
nasional.
Pencatuman
hak-hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga, warga negara, dan kewajiban
asasi, baik pribadi, warga negara maupun negara dalam UUDS 1950, dinilai sangat
sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas Konstitusi
RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru dalam
jaminanan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB tahun 1948 dan
Konstitusi RIS 1949.
.
MATERI MUATAN HAM PASCA – KEMBALI KE UUD 1945
Materi
muatan HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan apapun . Meskipun diakui
materi muatan HAM dalam UUD 1945 sangat sumir, namun kehendak Dekrit mengakibatkan
bahwa secara serta merta apa yang tertuang dalam UUD 1945 pada saat pertama
kali berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi sepenuhnya berlaku kembali
seajak 5 Juli 1959. Todung Mulya Lubis dengan tegas mengatakan bahwa kembali
berlaku UUD 1945 itu berarti bahwa jaminan konstitusi atas HAM menjadi tidak
sempurna dan tidak tegas.
Sejak UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959 Kemudian
Dekrit Presiden berserta lampiranya berupa UUD 1945 diundangkan dalam lembaran
Negara Republik Indonesia No.75 tahn 1995. Tindakan mendekritkan kembali ke UUD
1945 , pada sementara kalangan mempertanyakan keabsahan dari segi hukumnya.
Menurut kedua pendapat Mahkamah Agung dalam suatu acara khas dengan ketua Dewan
Redaksi Suluh Indonesia pada 11 juli 1959, beliau mengatakan:”di dasarkan pada
suatu hakikat hukum tidak tertulis bahwa dalam keadaan ketaatanegaraan
tertentu, kita dapat terpaksa mengadakan tindakan yang menyimpang dari
peraturan tata negara yang ada”. Berdasarkan kondisi gawat itulah
Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angakatan Perang mengeluarkan dekritnya.
Pertimbangan ini telah dimuat dalam konsideran alinea ketiga dan keempat
berbunyi: “Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan keselamatan negara, nusa, dan bangsa serta merintangi
pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, dan bahwa
dengan dukungan terbesar rakyat Indonesia dan dorongan oleh keyakinan
kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
negara proklamasi”
Sisi
fleksibelitas UUD 1945 mengakibatkan fleksibel pula arah dan penegakan HAM di
Indonesia. Akibatnya, muatan HAM didalam UUD1945 , menurut Mahmud MD, sangat
tergantung dari konfigurasi politik tertentu. Jika konfigurasi politik
demokratis, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi yang rekatif
proporsional, tetapi jika konfigurasi politik sedang bekerja dibawah payung
otoritarian maka HAM pun akan mendapat perlakuan yang buruk.
MATERI MUATAN HAM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Diakui bahwa, di awal-awal kepemimpinan Soeharto (1966-1998), rakyat
menaruh harapan yang besar, khususnya dalam rangka pemulihan kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, tidak ketinggalan juga perhatian
terhadap upaya-upaya perlindungan dan jaminan atas HAM. Meskipun, UUD 1945
telah berlaku pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, akan tetapi dirasa perlu untuk
segera dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang sistematis dan strategis dalam hal
penegakan HAM di Indonesia.
Disinilah pertama kalinya MPRS menetapkan sebuah ketetapan MPRS No.
XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad-Hoc. Ketetapan ini
memberikan perintah agar agar secepatnya membentuk panitia kecil yang akan
membahas sebuah Piagam Hak Asasi Manusia. Menindaklanjuti hal itu, kemudian
pimpinan MPRS menetapkan rancangan Piagam HAM yang tertuang dalam rancangan
Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad-Hoc B/MPRS/1966 yang diberi nama, “Piagam Hak-hak
Azasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara.
Pada awalnya rencana perumusan piagam HAM ini mendapat respons positif dari
masyarakat. Naman sayangnya, seiring dengan semakin matangnya konsolidasi
kekuatan Orde Baru, lembaga MPRS dinilai tidak bersih dari Demokrasi terpimpin
model Soekarno. Dalam perspektif Orde Baru, sebagai lembaga, MPRS dianggap
tidak tepat mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis meskipun menyangkut
jaminan hak asasi manusia. Karena itu, seiring dengan upaya mematangkan
konsolidasi pemerintahan ke arah pembangunan nasional, maka apa yang telah
direncanakan oleh MPRS ini menjadi deadlock tanpa diperoleh kejelasan yang
berarti.
Dalam kebijakan selanjutnya, pengaturan HAM pada masa Orde Baru tidaklah
dalam bentuk Piagam HAM, melainkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Sikap demikian menjadi bukti bahwa Orde Baru hanya mengakui hak-hak hukum
masyarakat sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk memajukan dan melindungi HAM yang sesuai dengan prinsip negara
berdasarkan atas hukum sekaligus agar langkah percepatan penegakan HAM berjalan
efektif, maka pemerintah Orde Baru membentuk sebuah Komisi Nasional HAM, yang
mempunyai dua tujuan pokok Komisi Nasional. Pertama,
membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia
sesuai dengan pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB, serta DUHAM; kedua, meningkatkan perlindungan hak
asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu
pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya.
Pada masa Pemerintah Habibie (1998-1999), tepatnya pada 15 Agustus 1998,
telah diatur kerangka kerja Komnas HAM melalui Kepres No. 129 Tahun 1998
Tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia. Tujuannya adalah
untuk menjamin peningkatan, pemajuan, dan perlindungan hak-hak asasi manusia
indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanaannya maka dibentuklah
sebuah Panitia Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
presiden.
Sebagai bagian dari HAM, pada tanggal 26 Oktober 1998 berlaku UU No. 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU ini
memiliki nilai penting dalam menjamin hak kebebasan berpendapat sebagai hak
asasi manusia. sejalan dengan kegiatan RAN HAM, maka pada tanggal 25 Mei 1999
pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional PBB penghapusan
diskriminasi rasial yang tertuang dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang pengesahan
“International Convention on the Elimination of All Form of Racial
Discrimination 1965”(Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial 1965).
Dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998, pada tanggal 23
september 1999 tentang Hak Asasi Manusia atau UU HAM. UU ini menegaskan dua hal
prinsipil, yakni Hak Asasi Manusia (HAM)
dan Kewajiban Dasar Manusia (KDM).
Untuk
memperkuat upaya penegakan HAM di Indonesia, RAN HAM, sebagaiman telah
ditegaskan dalam Kepres No. 129 Tahun 1998, belaku selama lima tahun terhitung
sejak 15 Agustus 1998 hingga Desember Tahun 2004 maka dipandang perlu melakukak
evaluasi atas kesinambungan RANHAM untuk lima tahun berikutnya, yakni tahun
1004 sampai dengan Tahun 2009.
Menyikapi hal tersebut, maka Presiden Megawati mengesahkan Kepres No. 40
Tahun 2004 tentang RANHAM Tahun 2004-2009 yang efektif berlaku sejak tanggal 11
mei 2004. Yang menitikberatkan kepada percepatan penegakan HAM yang tidak saja
melibatkan komitmen lembaga-lembaga negara, tetapi juga partisipasi aktif masyarakat
Indonesia.
Berdasarkan uraian ini kelihatan bahwa penjabaran ketentuan HAM dalam UUD
1945 ke dalam peraturan-peraturan organik terbilang tidak berjalan secara
stimulan. kerap kali tarikan atas nama kepentingan politis begitu mewarnai
lahirnya sebuah UU. Dengan kata lain, sebagai akibat dari multi-interpestasinya
pasal-pasal HAM dalam UUD 1945 menyebabkan terabaikannya taraf konsistensi
muatan HAM dalam peraturan perundang-undangan. Akibatnya tidak ada jalan lain
selain melakukan sosialisasi HAM secara baik, misalnya dengan pembntukan Komnas
HAM, Komnas Hak-hak Anak, Komnas Hak-hak Perempuan, dan yang terakhir RANHAM.
Jelas sekali bahwa pembentkan panitia-panitia ini tidak dapat berjalan secara
maksimal apabila ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal HAM, baik dalam UUD
1945, maupun dalam ketentuan-ketentuan orgniknya tidak berjalan secara
konsisten dan konsekuen.
2.
Filsafat Hukum
A.
Pengertian Filsafat Hukum
Para
ahli hukum memberikan pengertian sebagai filsafat hukum dengan rumusan yang
berbeda, sebagai berikut :
Menurut Soetikno
Filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin
mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di
dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai,
dia memberi penjelasan mengenai nilai, mengkaji sampai pada dasar-dasarnya dan
berusaha untuk mencapai akar-akar dari
hokum.
Menurut Satjipto Raharjo dan Soerjono Soekanto
Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum,
tentang dasar bagi kekuatan yang mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan
yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa
menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang
berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum
tertentu dan mempertayakan konsistensi logis, peraturan, bidang serta sistem hukum
itu sendiri.[5]
Bisa disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat,
yakni tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan
lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi
yang dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya yang disebut hakikat.[6]
Filsafat hukum dituntut untuk menyertakan argumen-argumen yang dapat dipahami
dari perspektif rasional.[7]
Jadi filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai selain itu
fisafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai.[8]
B.
Manfaat Filsafat Hukum
Adapun untuk mempermudah memahami apa manfaat dari filsafat hukum,
disini kami akan membahasnya berdasarkan sifat-sifat filsafat hukum.
Sifat-sifat filsafat hukum terbagi dalam tiga sifat, yaitu:
1)
Holistik
atau menyeluruh
Dengan cara berpikir yang holistik
tersebut, kita diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk
menghargai pemikiran, pendapat dan pedirian orang lain. Itulah sebabnya dalam
filsafat hukum diajarkan berbagai aliran tentang hukum. Dengan demikian kita
tidak bersifat arogam dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih
tinggi daripada disiplin ilmu lainnya.
2)
Mendasar
Artinya dalam menganalisis suatu
masalah kita dituntut untuk berpikir kritis dan radikal. Mereka yang
mempelajari filsafat hokum diajak untuk memahami hokum tidak dalam arti hokum
positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan memanfaatkan hokum secara
baik.
3)
Spekulatif
Sifat ini tidak boleh diartikan secara
negatif. Sebagaimana dinyatakan oleh Suriasumantri, bahwa semua ilmu yang
berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka
yang mempelajari filsafat hokum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu
yang baru. Memang salah satu ciri orang yang besifat yang senang terhadap hal
yang baru. Tapi disini tentu saja, tindakan spekulatif
Ini dimaksud dengan tindakan yang terarah,
yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif
(dalam arti positif) itulah hokum, dapat dikembangkan kearah yang dapat
dicita-citakan bersama.[9]
Sedangkan Muhammad Erwin SH,
M.Hum dalam bukunya Filsafat Hukum,
Refleksi Kritis Terhadap Hukum, menambahkan tiga sifat lainya yaitu:
4)
Refleksi-Kritis
Melalui sifat ini, filsafat hukum
berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara
rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus-menerus. Jawaban
tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala itu. Analisis ini
lah yang membantu kita menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu
masalah konkret. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan bahwa adanya sifat refleksi
kritis ada pada filsafat hukum yaitu untuk melakukan evaluasi terhadap
keberlakuan dan pelaksanaan aturan dalam kehidupan dan pelaksanaan aturan dalam
kehidupan berorganisasi.
5)
Disiplin
Dengan karakter yang satu ini, filsafat hukum
akan mampu menegaskan yang ada sesuai dengan adanya yang telah ditentukan untuk
itu, hal ini berarti permasalahan-permasalahan yang telah, sedang dan yang baru
terjadi dapat dipilah dan ditetapkan atau digolongkan ke dalam wilayah
permasalahan filsafat hkum.
6)
Mengejar
Kesempurnaan
Artinya filsafat hukum selalu bergerak dalam
diamnya secara sistematik ataupun secara ketakteraturannya dengan menemukan,
menelaah, dan menganalisis serta mengevaluasi lalu menyusun satu bagian dengan
bagian lainnya untuk kemudian dikonstruksikan menjadi susunan atau sebagai alat
untuk membuka jendela pengetahuan dengan mencari tahu rahasia alam yang ada,
sehingga dapat terus mengurangi keraguan dalam diri manusia.[10]
Berikut
beberapa teori tentang keadilan yang dikemukakan tokoh. Didalam filsafat hukum
terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teori keadilan, para ahli itu ialah
Plato, Aristoteles, Cicero dan John Rawls.
C.
Aliran Keadilan dalam Filsafat Hukum
Teori Keadilan Pada Masa Klasik
Keadilan
telah menjadi pokok pembicaraan serius sejk awal munculnya filsafat Yunani.
Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik,
filosofis, hukum sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa
bertindak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk
menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya
penerapannya dalam kehidupan manusia. Berikut beberapa teori tentang keadilan
yang dikemukakan tokoh. Didalam filsafat hukum terdapat beberapa ahli yang
mengemukakan teori keadilan, para ahli itu ialah Plato, Aristoteles dan John
Rawls.
PLATO
Plato
ialah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-kekuatan diluar
kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam filsafatnya. Demikian
pula halnya dengan masalh keadilan, Plato berpendapat bahwa keadilan adalah
diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan
dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus
dipertahankan, yaitu:
1.
Pemilahan
kelas-kelas yang tegas, misalnya kelas penguasa yang diisi oleh penggembala dan
anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan domba manusia.
2.
Identifikasi
takdir Negara dengan takdir kelas penguasa; perhatian khusus terhadap kelas ini
dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-aturan yang rigid
bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta
kolektivisasi kepentinga-kepentingan anggotanya.
Dari
elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainya dapat diturunkan, misalnya:
1.
Kelas
peguasa mempunyai monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan latihan
militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk pendidikan, tetepi
kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi dalam aktivitas
perekonomian, terutama dalam mencari penghasilan.
2.
Harus ada
sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan propaganda
terus menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan pikiran-pikiran mereka. Semua
inovasi dalam pendidikan, peraturan dan agama harus dicegah atau ditekan.
3.
Negara
harus bersifat mandiri. Negara harus bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak
demikian, para penguasa akan bergantung pada para peagang, atau justru para
penguasa itu sendiri yang menjadi pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan kekuasan
mereka, sedangkan alternatif kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa dan
stabilitas negaranya.[11]
Untuk mewujudkan keadilan masyrakat harus dikembalikan pada
struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas
ini adalah tugas Negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan
bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dengan
Negara. Bagaimana individu melayani Negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaanya sebagai
kualitas atau fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati
oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan di geser ke dunia
lain, diluar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan
tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan
Tuhan yang tidak dapat diduga. Oleh karena inilaj Plato mengungkapkan bahwa
yang memimpin Negara seharusnya manusia super, yaitu the King of Philosopher.
ARISTOTELES
Aristoteles
adalah peletak dasar rasionalitas dan empirisme. Pemikirannya tentang keadilan
diuraikan dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics. Buku ini secara
keseluruhan membahas aspek-aspek dasar hubungan antar manusia yang meliputi
masalah-masalah hukum, keadilan, solidaritas perkawanan, dan kebahagiaan.
Keadilan
diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku Nicomachean
Ethics. Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus dibahas tiga
hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebuy, (2) apa
arti keadilan dan (3) diantar dua titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.[12]
1. Keadilan
Dalam Arti Umum
Keadilan
diuraikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat
orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah keadilan, sedangkan
sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap ketidakadilan
adalah ketidakadilan.
Pembentukan
sikap dan karakter berasal dari pengamatan terbanyak objek tertentu yang berisi
ganda. Hal ini bias berlaku dua dalil, yaitu:
1.
Jika
kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;
2.
Kondisi
“baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi “baik”
Untuk
mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih, diperlukan
pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan secara
jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yng lain juga
ambigu.
Secara
umum dikatakan bahwa orang yang tak bisa adil adalah orang yang tidak patuh
terhadap hukum (unlawful, lawless)
dan orang yang tidak fair (unfair),
maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena tindakan
memenuhi atau mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan perbutan hukum
oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan
hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan bagi masyarakat. Maka, semua
tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan
masyarakat adalah adil.
Dengan
demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang
lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga
kebahagiaan orang lain. Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan
kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah
nilai-nilai. Keadilan dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki
esensi yang berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah
keadilan, namun sebagai suatu siakp khusus tanpa kualifikasi adalah nilai.
Ketidakadilan dalam hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai
ciri utama tindakan yang tidak fair.
Keadilan
sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan pada
suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai
sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila
hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan
ketidakadilan. Sebaliknya sesuatu tindakan yang bukan merupakan kejahatn dapat
menimbulkan ketidakadilan.
Sebagai
contoh, sorang pengusaha yang membayar gaji buruh dibawah UMR, adalh suatu
pelanggaran hukum dan kesalahan. Namun tindakan ini belum tentu mewujudkan
ketidakadilan. Apabila keuntungan dan kemampuan membayar perusahaan tersebut
memang terbatas, maka jumlah pembayaran itu adalah keadilan. Sebaliknya
walaupun seorang pengusaha membayar burunya sesuai UMR, yang berarti bukan
kejahatan, bisa saja menimbulkan ketidakadilan karena keuntungan perusahaan
tersebut sangat besar dan hanya sebagian kecil yang diambil untuk upah buruh.
Ketidakadilan ini mencul karena keserakahan dan ini termasuk melanggar hak
asasi buruh tersebut.
Hal
tersebut di atas adalah keadilan dalam arti umum. Keadilan dalam arti ini
terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing
bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua
tindakan melanggar hukum adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait
erat dengan kepatuhan terhadap hukum.
Teori
keadilan Aristoteles atas pengaruh Aristoteles secara tradisioanal keadilan
dibagi menjadi tiga:
1. Keadilan Legal
Keadilan legal yaitu perlakuan yang
sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Itu berarti semua
orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang
bulu. Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok
masyarakat dengan Negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat
diperlakukan sama oleh Negara dihadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku.
Semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan hukum
yang berlaku.
2. Keadilan
Komutatif
Keadilan ini mengatur hubungan yang
adil antara orang yang satu dengan orang yang lainya ata warga Negara yang satu
dengan warga Negara yang lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan
horizontal atara warga Negara satu dengan warga Negara lainnya. Dalam bisnis,
keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan
kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang adil antara
pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang
menepati apa yang telah dijanjikannya, mengmbalikan pinjaman, memberi ganti
rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas dan menjual barang
dagangan mutu dan harga yang seimbang.
3. Keadilan
Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif
yang dikenal sebagai keadilan ekonomi adalah distibusi ekonomi yang merata atau
dianggap adail bagi semua warga Negara. Keadilan distributif punya relevansi
dalam dunia bisnis, khususnya dalam perusahaan. Berdasarkan prinsip keadilan
ala Aristoteles, setiap karyawan harus digaji sesuai dengan prestasi, tugas,
dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Distributif yang adil boleh jadi
merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi
masyarakat.
CICERO
Keadilan merupakan hak yang didapat oleh semua manusia
tanpa terkecuali, dalam hal ini keadilan berarti memilik struktur paling atas
dalam kehidupan di dunia. Keadilan di dapatkan oleh manusia secara bebas, tidak
memerlukan budget apabila ingin
memilikinya, karena keadilan merupakan hal yang murni di dapat oleh manusia
sejak mereka dalam rahim ibu.
Berikut beberapa ide Cicero mengenai
Keadilan[13] :
1.
Keadilan
merupakan mahkota kemuliaan dari sebuah kebajikan
2.
Keadilan
adalah tujuan yang konstan, yang memberikan setiap orang haknya
3.
Keadilan
tidak termasuk dalam mencederai manusia
4.
Keadilan
harus diperhatikan bahkan sampai titik terendah
5.
Keadilan
tidak turun dari puncaknya
6.
Keadilan
tidak memeras upah, tidak ada jenis harga, dia dicari untuk dirinya sendiri
7.
Keadilan
ekstrim adalah ketidakadilan ekstrim
8.
Jika hidup
kita terancam oleh kekerasan maka setiap
cara untuk melindungi diri kita secara moral adalah benar
Teori Keadilan Pada Masa Modern
JOHN RAWLS
John Rawls dikenal sebagai seorang fisuf yang
secara keras mengkritik ekonomi pasar bebas. Baginya pasar bebas memberikan
kebebsan bagi setiap orang, namun dengan adanya pasar bebas maka keailan sulit
ditegakan. Oleh karena hal ini, ia mengembangkan sebuah teori yang disebut teori keadilan.
Menurut Rawls, prinsip paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap orang
memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar. Menurutnya
kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau mengganggu
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya
masyarakat lemah. [14]
Teori
keadilan Rawls dapat disimpulakan memiliki inti sebagai berikut:
1.
Memaksimalkan
kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan
kemerdekaan itu sendiri.
2.
Kesetaraan
bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaran dalam
bentuk pemanfaatan kekayaan alam.
Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan
yang lebih besar.
3.
Kesetaraan
kesempatan untuk kejujuran dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan
kelahiran dan kekayaan.
Untuk
memberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls melahirkan prinsip keadilan, yang
sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni:
1.
Prinsip
Kebebasan (liberty of principle)
2.
Prinsip
Persamaan (equal of principle)
Rawls
mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan dan kebebesan
yang adil itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.[15]
Secara
spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan
menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan:
1.
Posisi
Asali (Original Postion)
Konsep
ini menjelaskan dimana seseorang memosisikan adanya situasi yang sama dan
setara antara tiap-tiap orang yang ada di dalam masyarakat serta tidak ada
pihak yang memiliki posisi yang lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,
seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan,
kekuatan dan lain sebagainya. Sehingga orang-orang tersebut dapat melakukan
kesepakatan dengan pihak lain.
Kondisi
demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi asal” yang bertumpu pada
pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar
masyarakat (basic structure of society).
Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya hampir serupa
dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak
darimanapun (the view from nowhere),
hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi sangat abstrak dari “the State of Nature”.
2.
Selubung
Ketidaktahuan (Veil of Ignorence)
Konsep
ini diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya
seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi
sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang. Dan setiap orang atau kelompok yang
terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka
tentang kebaikan.
Prinsip-prinsip Keadilan
Rawls
menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-masing akan
mengadopsi dua prinsip keadilan utama, yaitu:
1.
Prinsip
Kebebasan (Liberty of Principle)
Setiap
orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas
dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain.
Prinsip
ini dikenal dengan prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan
berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom
of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion).
Ini
merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harusnya dimiliki semua
orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi
semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip ini
tidak lain adalah “prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan
kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang
dimiliki setiap orang. Prinsip ini merupakan ruh dari asas kebebasan berkontrak.
2.
Prinsip
Persamaan (Equal of Principle)
Ketimpangan
atau ketidaksamaan sosial dan ekonomi yang diatur sedemikian rupa, sehingga
menjadi dua frasa, yakni:
a.
Prinsip
Perbedaan (Difference Principle)
Memperoleh manfaat sebesar-besarnya
bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan. Prinsip perbedaan ini
berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui
kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat lemah.
Prinsip ini memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar.
b.
Prinsip
Persamaan Kesempatan (Equal Opportunity
Principle)
Jabatan-jabatan dan posisi-posisi
harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesepakatan
yang adil. Prinsip ini tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan
semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut.
Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas
kemampuan, dan kemauan, dan kebutuhan juga dapat dipandang sebagai suatu nilai
yang adil berdasarkan prespektif Rawls. Prinsip ini berpijak dari hadirnya
ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai
keadilan dapt diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang,
khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage).
Prinsip-prinsip ini diharapkan
memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta
memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua
posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang. Prinsip kedua, yaitu Different Principle dan Equal Opportunity Principle, merupakan
“prinsip perbedaa obyektif”, artinya prinsip kedua tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak
dan kewajiban para pihak, sehnga secara wajar (obyektif) diterima adanya
perbedaan pertukaan asalkan memenuhi syarat good faith and fairness (redelijkhid n billijkheid. Dengan
demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua idak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya. Sesuai dengan azaz proposionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud
apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif. Dengan penekanannya
ang begitu kuat pada pentingya member peluang yang sama bai smua pihak, Rawls
berusaha agar keadlilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak
dan sosialisme di lain pihak. Rawls mengatakan bahwa prinsip Different Principle, harus lebih
diprioritaskan dari prinsip yang kedua apabial keduanya berkonflik. Sedang
prinsip kedua, bagian b, yaitu Equal
Opportunity Principle harus lebi
diprioritaskan dari bagian a yaitu Different
Principle[16].
BAB III
SIMPULAN
Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha
Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Pada hakikatnya HAM terdiri dari atas
dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan.
Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak dasar
ini hak asasi manusia lainnya sulit ditegakkan.
Sedangkan
filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang
ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia
menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi
penjelasan mengenai nilai, mengkaji sampai pada dasar-dasarnya dan berusaha
untuk mencapai akar-akar dari hukum. Dan
di dalam filsafat hukum terdapat teori yang bernama teori keadilan.
Jika
kita sangkut pautkan HAM itu sendiri dengan prinsip keadilan yang di dalamnya
disebutkan bahwa keadilan itu memberi perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai
dengan hukum yang berlaku dalam filsafat hukum jelasberkaitan. Karena Ini
merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harusnya dimiliki semua
orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi
semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip ini
tidak lain adalah “prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan
kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang
dimiliki setiap orang. Prinsip ini merupakan ruh dari asas kebebasan
berkontrak.
Dan
itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara
tanpa pandang bulu.
Daftar Pustaka
Ali, Zainudin (2009). Filsafat
Huku. Jakarta: Sinar Grafika.
Aristoteles. Nichomachean Ethics. Dari
http://bocc.ubi.pt/pag/Aristoteles-nicomachean.html, 20 September 2013
Bambang, (2002). Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di
Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Darmodiharji, Darji (2008). Pokok-Pokok
Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
El-Muhtaj, Maja (2007). Hak
Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 Sampai Dengan
Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Kencana.
Erwin, Muhammad (2011). Filsafat
Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta: Raja Grafindo.
http://archive.mises.org/2917/cicero-on-justice-law-and-liberty/,
20 September 2013
http:/ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/.
20 September 2013
Noer, Deliar (1997).
Pemikiran Politik di Negeri Barat. Jakarta: Pustaka Mizan
Rawls, Jhon (1997). A Theory
Justice
[2] Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), hlm.168-172
[3] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi
Manusia Dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD
1945 Tahun 2002, (Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 94-95
[4] Bambang, Konsepsi Hak Asasi
Manusia dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta, UII Press, No.
44/XXV/I/2002), hlm 89
[5] Prof.Dr.H.Zainuddin Ali,MA,Filsafat
Hukum,Jakarta:Sinar Grafika,hlm.16
[6] Prof.Darji Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum,Pokok-Pokok Filsafat Hukum ‘Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia’,Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2008,hlm.11
[7] Herman Bakir,SH.,MH.,Filsafat
Hukum ‘Desain dan Arsitektur Kesejarahan’,Bandung:Refika
Aditama,2007,hlm.217
[8] Prof.Darji Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum,hlm.18
[9] Prof.Darji Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum,hlm.16-17
[10] Muhammad Erwin,Filsafat
Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum,Jakarta:Raja Grafindo,2011,hlm.26-27
[11] Deliar Noer,Pemikiran Politik
di Negeri Barat,edisi refisi cetakan II, Jakarta:Pustaka Mizan,1997.
[12] Aristoteles,”Nicomachean Ethics”,Translated by: W.D.Ross,http://bocc.ubi.pt/pag/Aristoteles-nicomachean.html.Diaskes
pada tanggal 20 September 2013, pukul.01.10
[13] http://archive.mises.org/2917/cicero-on-justice-law-and-liberty/ Diaskes pada tanggal 20 September 2013,
pukul.02.30
[14] John Rawls,Teori Keadilan (a
Theory Justice),1997h.3
[15] http:/ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/.
Diakses pada tanggal 20 september 2013, pukul. 01.34
[16] John Rawls,Teori Keadilan (a
Theory Justice),1997h.72