Senin, 23 September 2013

HAM DALAM FILSAFAT HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Dalam pembahasan kali ini yaitu mengenai Hak Asasi Manusia dalam perspektif Filsafat Hukum, bagaimana kita dapat berfikir secara logis tentang kehidupan HAM yang ada dimuka bumi ini, dalam hal ini tentu saja kita membicarakan mengenai sisi keadilannya, bagaimana komposisi keadilan itu sendiri dalam kehidupan berfalsafah. Sesungguhnya pada dasarnya sebuah keadilan didapatkan oleh manusia secara bebas dan itu merupakan haknya ketika mereka sudah terbentuk seperti janin ketika berada dalam kandungan ibu. Pada zaman sekarang ini semua orang mengenal sebutan “keadilan” , tetapi sayangnya mereke mencederai nama keadilan itu sendiri dengan sikap mereka yang tidak memikirkan orang lain, tetapi hanya memikirkan dirinya saja dan kelompoknya saja. Betapa ironisnya ketika keadilan itu keluar dari jalan yang benar karena pikiran manusianya dalam berfalsafah yang telah menyimpang dari aturan-aturan atau kaidah-kadiah yang ada.
Keadilan merupakan posisi yang teratas dalam moralitas bereaksi, kita harus menggunakan sikap keadilan tanpa pandang bulu, tidak bertindak berdasarkan kasta atau staus sosial yang ada, sebab pada dasarnya Indonesia mengandung azas “equality before the law”. Filsafat hukum harus dapat menekan segala problematika hukum yang ada di dalam negara ini maupun di dunia ini, tidak boleh adanya proses presure of mind atau presure of react dalam menjalankan sikap hukum.



BAB II
PEMBAHASAN

1.       HAK ASASI MANUSIA (HAM)

A.      PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Pada hakikatnya HAM terdiri dari atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini hak asasi manusia lainnya sulit ditegakkan.
Hak asasi manusia dimaksud di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Batang tubuh dimaksud, dapat diungkapkan beberapa pasal diantaranya: Pasal 5 ayat (1), 20 ayat (1), 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 ayat (1) dan ayat (3), dan 34. Namun, hak asasi manusia secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
Hak asasi manusia yang bertujuan untuk: (1) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia  sesuia dengan pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; (2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.[1]

B.      RUANG LINGKUP HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Hak asasi manusia mempunyai ruang lingkup yang luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
1.       Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya;
2.       Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada;
3.       Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
4.       Setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya;
5.       Setiap orang berhak atas kemerdekan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan Undang-Undang;
6.       Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa;
7.       Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang;
8.       Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Dari pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa di negara Republik Indonesia yang berdasar atas hukum amat  dihormati dan dijunjung tinggi hak asasi manusia. 

C.      LATAR BELAKANG HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan kewajiban yang lain. Yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia ini mencakup sekumpulan hak,seperti hak hidup dengan selamat serta hak kebebasan dan kesamaan, yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Hak-hak asasi manusia dapat pula dibagi sebagai berikut:
1.       Hak-hak asasi pribadi.
2.       Hak-hak asasi ekonomi.
3.       Hak-hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
4.       Hak-hak sosial dan budaya
5.       Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata peradilan dan perlindungan.
Menjadi kewajiban pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi ini, yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Dengan adanya kemakmuran masing-masing individu, kemakmuran masyarakat keseluruhan akan tercapai. Pandangan demikian adalah pandangan liberal yang sangat mengedepankan individu. 

D.      HAK ASASI MANUSIA DAN WIBAWA HUKUM
Wibawa hukum diperlukan pula untuk penegakan hak asasi manusia. Orang sering kurang mengetahui dan menyadari bahwa HAM mempunyai hubungan yang erat dengan wibawa hukum. Kalau berbicara tentang HAM, maka hanya  masalah ini saja yang disoroti. Demikian juga sebaliknya.
Padahal HAM dan wibawa hukum merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dengan sisi yang lain. Charles Himawan mengungkapkan bahwa di negara berkembang baik yang sudah tergolong dalam kelompok Newly Industrialized countries (NIC)  maupun yang masih tergolong sebagai Less Developed Countries (LDC) hubungan antara HAM dengan wibawa hukum seringkali dilupakan. Demikian yang diungkapkan oleh masyarakat yang mendiami beberapa negara maju (Developed Countries).  Indonesia adalah negara yang kuat, Indonesia merupakan negara yang berkembang tetapi dalam proses peradilannya Indonesia masih di belakang negara maju dalam hal penegakan keadilannya. Indonesia saat ini mempunyai peluang untuk mengurangi sifat keterbelakangan itu berdasarkan.
Pertama, mayoritas anggota Komnas HAM mempunyai latar belakang pendidikan hukum sehingga tidak ada kesulitan untuk masuk kedalam bidang hukum untuk menangani problematical cases of law.
Kedua, beberapa anggota Komnas HAM merupakan mantan hakim, jaksa, dan pengacara sehingga mereka mumpuni dalam memberikan masukan kepada Komnas HAM yang perlu ditempuh untuk melakukan balancing wibawa.
Ketiga, wibawa hukum di Indonesia rendah oleh karena itu Indonesia dikatakan sebagai inferior country. [2]

E.       PERIODE HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA

MATERI MUATAN HAM DALAM UUD 1945
Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM,  terdapat pandangann yang beragam. Setidaknya, terdapat tiga kelompok pandangan, yakni : pertama, mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan HAM secara komprehensif; kedua, mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif; dan berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok jaminan atas HAM.[3]
Pandangan pertama didukung oleh Mahfud MD dan Bambang. Hal ini didasarkan bahwa istilah HAM tidak ditemukan secara pribadi di dalam Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Menurut Sutiyoso, di dalam UUD 1945 hanya ditemukan penjelasannya dengan tegas perkataan hak dan kewajiban wraga negara dan hak DPR.[4] Menurut mahfud, tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa UUD 1945 tersebut sebenarnya tidak banyak memberi pada HAM, bahkan UUD 1945 tidak berbicara apa pun tentang universal kecuali dalam dua hal, yaitu sila ke empat Pancasila cetakkan atas “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan pasal penendervasikan jaminan “Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah.
Hal yang sama ditegaskan Azhary, kalau ada yang beranggapan UUD 1945 tidak atau kurang menjamin HAM, itu adalah suatu anggapan yang keliru. Selengkapnya ia mengatakan:
”apabila diperhatikan baik pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945, ternyata cukup banyak memerhatikan hak-hak asasi. Berdasarkan itu, UUD 1945 mengakui hak asai Individu, tetapi tidak berarti sebagai kepentingan perseorangan ataupun komunisme-fasisme yang mengutamakan masyarakatnya atau negaranya. Dengan demikian kepentingan hak asasi individu diakui substansinya, namun dibatasi jangan sampai melanggar hak individu lainnya ataupun hak asasi orang banyak rakyat.
Terdapat dua pandangan untuk melihat HAM dalam UUD 1945, yakni sebagai berikut :
Pertama segi filosofis. Sesuai dengan asas demokrasi yang digariskan dalam pola dasar pembangunan nasional, demokrasi yang ingin diketengahkan adalah demokrasi berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-bidang politik, sosial, dan ekonomi, serta dalam penyelesaian masalah-masalah nasional berusaha sejauh mungkin menempuh jalan permusyawaratan untuk mencapai mufakat. Pada pokoknya, prinsip inilah yang dianut dalam UUD 1945 sebagai konstitusi yang dijiwai oleh filsafat pancasila. Ini berarti bahwa di dalam UUD 1945 ada dicantumkan kewajiban dasar di samping adanya hak-hak dasar. Kewajiban dasar dimaksudkan secara garis besarnya yang tersurat adalah kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan. Kedua, segi yuridis. Suatu pandangan mengatakan “waktu UUD 1945 dirancang, maka kata pembukaannya menjamin demokrasi revolusioner. Akibatnya pendirian ini yaitu hak dasar tidaklah diakui seluruhnya, melainkan satu dua saja yang kira-kira sesuai dengan suasana politik dan sosial pada tahun 1945. Yang dipengaruhi oleh peperangan antara negara fasisme melawan demokrasi.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam UUD 1945 tidak ditemukan sebuah pengaturan yang tegas, akibatnya muncul berbagai intrepretasi terhadap muatan kualitas muatan dan jaminan UUD 1945 atas HAM. Akan tetapi, satu hal yang patut mendapat apresiasi positif adalah, bahwa para pendiri Bangsa Indonesia telah berhasil memfomulasikan sebuah tatanan kehidupan nasional berikut jaminan atas HAM.

MATERI MUATAN HAM DALAM KONSTITUSI RIS 1949
Penekanan dan jaminan Konstitusi RIS atas HAM, secara historis, sangat dipengaruhi oleh keberadaan Universal Declaration of Human Rights (UDHR/DUHAM) yang dirumuskan oleh PBB pada 10 desember 1948. Dalam konteks negara bangsa, maka diseminasi HAM versi PBB pada waktu itu sangat dirasakan memengaruhi konstitusi-kontitusi negara-negara di dunia, termasuk konstitusi RIS 1949.
Meskipun tidak ditemukan kata Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi RIS, namun ada tiga kalimat yang dipergunakan, yakni setiap/segala/sekalian orang/siapa pun/tiada seorang pun, setiap warga negara, dan berbagai kata yang menunjukkan adanya kewajiban asasi manusia, dan negara. Keseluruhan kata ini dapat ditafsirkan kepada makna dan pengertian HAM yang sesungguhnya. Dengan kata lain, manusia secara pribadi, kelompok, keluarga, dan sebagai warga negara benar-benar ditegaskan sebagai mereka yang mendapatkan jaminan dalam Konstitusi RIS.
Hak-hak asasi manusia sebagai bagian dalam keluarga juga ditegaskan dalam Konstitusi RIS, sebagaimana terdapat dalam pasal 37 yang berbunyi, “keluarga berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara”. Keberadaan pasal ini menunjukkan elemen keluarga sebagai unit terkecil dalam sebuah negara patut memperoleh jaminan konstitusi.
 Kemudian manusia sebagai warga negara juga memiliki hak-hak dasar yang memperoleh jaminan dalam Konstitusi RIS. Menariknya, status manusia sebagai warga negara tidaklah menghilangkan statusnya sebagai seorang pribadi/individu dan keluarga. Keempat, kewajiban asasi manusia dan negara. Sebagaimana dipahami bahwa hak sangat terkait dengan kebebasan dan kewajiban, maka sebagai pribadi, manusia memiliki kewajiban, begitu pula halnya negara. Penegasan ini tercantum dalam pasal 23 yang berbunyi,”setiap warga negara berhak dan berkewajiban turut serta dan sungguh-sungguh dalam pertahanan kebangsaan”. Pasal 31 juga menyatakan secara eksplisit, yaitu “setiap orang yang ada di daerah negara harus aptuh kepada UU, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak sah”.
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dikatakan bahwa HAM dalam Konstitusi RIS menempati posisi penting yang menunjukkan terdapatnya sebuah jaminan dan perlindungan yang ideal. Meski Konstitusi RIS terbilang “sementara”, namun kenyataannya muatan-muatan hak asasi mendapatkan jaminan konstitusional. Jaminan atas hak-hak asai tersebut semakin dikuatkan dengan terdapatnya kewajiban asasi yang harus dilaksanakan oleh penguasa/pemerintah.

MATERI MUATAN HAM DALAM UUDS 1950
Secara anatomik, UUDS  1950 terdiri atas 6 Bab dan 146 Pasal. Sebagaimana ditegaskan diatas bahwa materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan atas Konstitusi RIS 1949, maka perihal HAM juga disamping memiliki kesamaan secara umum, terdapat juga perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Seiring dengan perubahan bentuk negara dari Serikat ke bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, berubah pula konstitusinya. Melalui UU No. 7 Tahun 1950 ditetapkan perubahan konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat menjadi UUDS Republik Indonesia. Karena UUD ini asalnya dari konsntitusi RIS, maka tidak ada perubahan substansi yang mencolok di dalamnya, kecuali dalam hal bentuk negara dan beberapa pasal yang menyesuaikan dengan perubahan struktur negara. Dalam hal perlindungan HAM, UUDS 1950 juga tidak terlalu berbeda dengan apa yang diatur dalam konstitusi RIS.
     Menurut catatan Soepomo, setidaknya terdapat beberapa perbedaan mendasar Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasannya tentang HAM. Pertama, hak dasar mengenai kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinannya, dan sebagainya sebagaimana tertuang pada pasal 18 Konstitusi RIS, oleh pasal 18 UUDS 1950, pernyataan meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan tidak ditegaskan lagi.
Kemudian yang kedua didalam Pasal 21 UUDS 1950 diatur perihal hak berdemonstrasi dan hak mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada Konstitusi RIS, dan ketiga dasar perekonomian sebagaimana dimuat pada pasal 33 UUD 1945, diadopsi kedalam pasal 38 UUDS 1950. Dalam pada itu, Pasal 37 ayat (3) melarang organisasi –oirganisasi yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan perekonomian nasional.
Pencatuman hak-hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga, warga negara, dan kewajiban asasi, baik pribadi, warga negara maupun negara dalam UUDS 1950, dinilai sangat sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru dalam  jaminanan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB tahun 1948 dan Konstitusi RIS 1949.
.
MATERI MUATAN HAM PASCA – KEMBALI KE UUD 1945
Materi muatan HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan apapun . Meskipun diakui materi muatan HAM dalam UUD 1945 sangat sumir, namun kehendak Dekrit mengakibatkan bahwa secara serta merta apa yang tertuang dalam UUD 1945 pada saat pertama kali berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi sepenuhnya berlaku kembali seajak 5 Juli 1959. Todung Mulya Lubis dengan tegas mengatakan bahwa kembali berlaku UUD 1945 itu berarti bahwa jaminan konstitusi atas HAM menjadi tidak sempurna dan tidak tegas.
Sejak UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 Kemudian Dekrit Presiden berserta lampiranya berupa UUD 1945 diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia No.75 tahn 1995. Tindakan mendekritkan kembali ke UUD 1945 , pada sementara kalangan mempertanyakan keabsahan dari segi hukumnya. Menurut kedua pendapat Mahkamah Agung dalam suatu acara khas dengan ketua Dewan Redaksi Suluh Indonesia pada 11 juli 1959, beliau mengatakan:”di dasarkan pada suatu hakikat hukum tidak tertulis bahwa dalam keadaan ketaatanegaraan tertentu, kita dapat terpaksa mengadakan tindakan yang menyimpang dari peraturan  tata negara yang ada”. Berdasarkan kondisi gawat itulah Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angakatan Perang mengeluarkan dekritnya. Pertimbangan ini telah dimuat dalam konsideran alinea ketiga dan keempat berbunyi: “Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan keselamatan negara, nusa, dan bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, dan bahwa dengan dukungan terbesar rakyat Indonesia  dan dorongan oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi”
Sisi fleksibelitas UUD 1945 mengakibatkan fleksibel pula arah dan penegakan HAM di Indonesia. Akibatnya, muatan HAM didalam UUD1945 , menurut Mahmud MD, sangat tergantung dari konfigurasi politik tertentu. Jika konfigurasi politik demokratis, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi yang rekatif proporsional, tetapi jika konfigurasi politik sedang bekerja dibawah payung otoritarian maka HAM pun akan mendapat perlakuan yang buruk.

MATERI MUATAN HAM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Diakui bahwa, di awal-awal kepemimpinan Soeharto (1966-1998), rakyat menaruh harapan yang besar, khususnya dalam rangka pemulihan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, tidak ketinggalan juga perhatian terhadap upaya-upaya perlindungan dan jaminan atas HAM. Meskipun, UUD 1945 telah berlaku pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, akan tetapi dirasa perlu untuk segera dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang sistematis dan strategis dalam hal penegakan HAM di Indonesia.
Disinilah pertama kalinya MPRS menetapkan sebuah ketetapan MPRS No. XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad-Hoc. Ketetapan ini memberikan perintah agar agar secepatnya membentuk panitia kecil yang akan membahas sebuah Piagam Hak Asasi Manusia. Menindaklanjuti hal itu, kemudian pimpinan MPRS menetapkan rancangan Piagam HAM yang tertuang dalam rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad-Hoc B/MPRS/1966 yang diberi nama, “Piagam Hak-hak Azasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara.
Pada awalnya rencana perumusan piagam HAM ini mendapat respons positif dari masyarakat. Naman sayangnya, seiring dengan semakin matangnya konsolidasi kekuatan Orde Baru, lembaga MPRS dinilai tidak bersih dari Demokrasi terpimpin model Soekarno. Dalam perspektif Orde Baru, sebagai lembaga, MPRS dianggap tidak tepat mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis meskipun menyangkut jaminan hak asasi manusia. Karena itu, seiring dengan upaya mematangkan konsolidasi pemerintahan ke arah pembangunan nasional, maka apa yang telah direncanakan oleh MPRS ini menjadi deadlock tanpa diperoleh kejelasan yang berarti.
Dalam kebijakan selanjutnya, pengaturan HAM pada masa Orde Baru tidaklah dalam bentuk Piagam HAM, melainkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sikap demikian menjadi bukti bahwa Orde Baru hanya mengakui hak-hak hukum masyarakat sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk memajukan dan melindungi HAM yang sesuai dengan prinsip negara berdasarkan atas hukum sekaligus agar langkah percepatan penegakan HAM berjalan efektif, maka pemerintah Orde Baru membentuk sebuah Komisi Nasional HAM, yang mempunyai dua tujuan pokok Komisi Nasional. Pertama, membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB, serta DUHAM; kedua, meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Pada masa Pemerintah Habibie (1998-1999), tepatnya pada 15 Agustus 1998, telah diatur kerangka kerja Komnas HAM melalui Kepres No. 129 Tahun 1998 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia. Tujuannya adalah untuk menjamin peningkatan, pemajuan, dan perlindungan hak-hak asasi manusia indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanaannya maka dibentuklah sebuah Panitia Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Sebagai bagian dari HAM, pada tanggal 26 Oktober 1998 berlaku UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU ini memiliki nilai penting dalam menjamin hak kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia. sejalan dengan kegiatan RAN HAM, maka pada tanggal 25 Mei 1999 pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional PBB penghapusan diskriminasi rasial yang tertuang dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang pengesahan “International Convention on the Elimination of All Form of Racial Discrimination 1965”(Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965).
Dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998, pada tanggal 23 september 1999 tentang Hak Asasi Manusia atau UU HAM. UU ini menegaskan dua hal prinsipil, yakni Hak Asasi Manusia (HAM)                dan Kewajiban Dasar Manusia (KDM).
Untuk memperkuat upaya penegakan HAM di Indonesia, RAN HAM, sebagaiman telah ditegaskan dalam Kepres No. 129 Tahun 1998, belaku selama lima tahun terhitung sejak 15 Agustus 1998 hingga Desember Tahun 2004 maka dipandang perlu melakukak evaluasi atas kesinambungan RANHAM untuk lima tahun berikutnya, yakni tahun 1004 sampai dengan Tahun 2009.
Menyikapi hal tersebut, maka Presiden Megawati mengesahkan Kepres No. 40 Tahun 2004 tentang RANHAM Tahun 2004-2009 yang efektif berlaku sejak tanggal 11 mei 2004. Yang menitikberatkan kepada percepatan penegakan HAM yang tidak saja melibatkan komitmen lembaga-lembaga negara, tetapi juga partisipasi aktif masyarakat Indonesia.
Berdasarkan uraian ini kelihatan bahwa penjabaran ketentuan HAM dalam UUD 1945 ke dalam peraturan-peraturan organik terbilang tidak berjalan secara stimulan. kerap kali tarikan atas nama kepentingan politis begitu mewarnai lahirnya sebuah UU. Dengan kata lain, sebagai akibat dari multi-interpestasinya pasal-pasal HAM dalam UUD 1945 menyebabkan terabaikannya taraf konsistensi muatan HAM dalam peraturan perundang-undangan. Akibatnya tidak ada jalan lain selain melakukan sosialisasi HAM secara baik, misalnya dengan pembntukan Komnas HAM, Komnas Hak-hak Anak, Komnas Hak-hak Perempuan, dan yang terakhir RANHAM. Jelas sekali bahwa pembentkan panitia-panitia ini tidak dapat berjalan secara maksimal apabila ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal HAM, baik dalam UUD 1945, maupun dalam ketentuan-ketentuan orgniknya tidak berjalan secara konsisten dan konsekuen.

2.       Filsafat Hukum

A.      Pengertian Filsafat Hukum
Para ahli hukum memberikan pengertian sebagai filsafat hukum dengan rumusan yang berbeda, sebagai berikut :
Menurut Soetikno
Filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, mengkaji sampai pada dasar-dasarnya dan berusaha untuk mencapai  akar-akar dari hokum.
Menurut  Satjipto Raharjo dan Soerjono Soekanto
Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum, tentang dasar bagi kekuatan yang mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertayakan konsistensi logis, peraturan, bidang serta sistem hukum itu sendiri.[5]
Bisa disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yakni tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi yang dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya yang disebut hakikat.[6] Filsafat hukum dituntut untuk menyertakan argumen-argumen yang dapat dipahami dari perspektif rasional.[7] Jadi filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai selain itu fisafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai.[8]

B.      Manfaat Filsafat Hukum
Adapun untuk mempermudah memahami apa manfaat dari filsafat hukum, disini kami akan membahasnya berdasarkan sifat-sifat filsafat hukum. Sifat-sifat filsafat hukum terbagi dalam tiga sifat, yaitu:
1)      Holistik atau menyeluruh

Dengan cara berpikir yang holistik tersebut, kita diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pedirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukum diajarkan berbagai aliran tentang hukum. Dengan demikian kita tidak bersifat arogam dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi daripada disiplin ilmu lainnya.

2)      Mendasar
Artinya dalam menganalisis suatu masalah kita dituntut untuk berpikir kritis dan radikal. Mereka yang mempelajari filsafat hokum diajak untuk memahami hokum tidak dalam arti hokum positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan memanfaatkan hokum secara baik.

3)      Spekulatif
Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif. Sebagaimana dinyatakan oleh Suriasumantri, bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hokum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang salah satu ciri orang yang besifat yang senang terhadap hal yang baru. Tapi disini tentu saja, tindakan spekulatif
Ini dimaksud dengan tindakan yang terarah, yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif (dalam arti positif) itulah hokum, dapat dikembangkan kearah yang dapat dicita-citakan bersama.[9]
                Sedangkan Muhammad Erwin SH, M.Hum dalam bukunya Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, menambahkan tiga sifat lainya yaitu:
4)      Refleksi-Kritis
Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus-menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala itu. Analisis ini lah yang membantu kita menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah konkret. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan bahwa adanya sifat refleksi kritis ada pada filsafat hukum yaitu untuk melakukan evaluasi terhadap keberlakuan dan pelaksanaan aturan dalam kehidupan dan pelaksanaan aturan dalam kehidupan berorganisasi.

5)      Disiplin
Dengan karakter yang satu ini, filsafat hukum akan mampu menegaskan yang ada sesuai dengan adanya yang telah ditentukan untuk itu, hal ini berarti permasalahan-permasalahan yang telah, sedang dan yang baru terjadi dapat dipilah dan ditetapkan atau digolongkan ke dalam wilayah permasalahan filsafat hkum.

6)      Mengejar Kesempurnaan
Artinya filsafat hukum selalu bergerak dalam diamnya secara sistematik ataupun secara ketakteraturannya dengan menemukan, menelaah, dan menganalisis serta mengevaluasi lalu menyusun satu bagian dengan bagian lainnya untuk kemudian dikonstruksikan menjadi susunan atau sebagai alat untuk membuka jendela pengetahuan dengan mencari tahu rahasia alam yang ada, sehingga dapat terus mengurangi keraguan dalam diri manusia.[10]

Berikut beberapa teori tentang keadilan yang dikemukakan tokoh. Didalam filsafat hukum terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teori keadilan, para ahli itu ialah Plato, Aristoteles, Cicero dan John Rawls.
C.    
  Aliran Keadilan dalam Filsafat Hukum
Teori Keadilan Pada Masa Klasik
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejk awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia. Berikut beberapa teori tentang keadilan yang dikemukakan tokoh. Didalam filsafat hukum terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teori keadilan, para ahli itu ialah Plato, Aristoteles dan John Rawls.

PLATO
Plato ialah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalh keadilan, Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:
1.       Pemilahan kelas-kelas yang tegas, misalnya kelas penguasa yang diisi oleh penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan domba manusia.
2.       Identifikasi takdir Negara dengan takdir kelas penguasa; perhatian khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentinga-kepentingan anggotanya.
Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainya dapat diturunkan, misalnya:
1.       Kelas peguasa mempunyai monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk pendidikan, tetepi kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam mencari penghasilan.
2.       Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan propaganda terus menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan pikiran-pikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan dan agama harus dicegah atau ditekan.
3.       Negara harus bersifat mandiri. Negara harus bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa akan bergantung pada para peagang, atau justru para penguasa itu sendiri yang menjadi pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan kekuasan mereka, sedangkan alternatif kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa dan stabilitas negaranya.[11]
Untuk mewujudkan keadilan masyrakat harus dikembalikan pada struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini adalah tugas Negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dengan Negara. Bagaimana individu melayani Negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaanya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan di geser ke dunia lain, diluar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. Oleh karena inilaj Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin Negara seharusnya manusia super, yaitu the King of Philosopher.

ARISTOTELES
Aristoteles adalah peletak dasar rasionalitas dan empirisme. Pemikirannya tentang keadilan diuraikan dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics. Buku ini secara keseluruhan membahas aspek-aspek dasar hubungan antar manusia yang meliputi masalah-masalah hukum, keadilan, solidaritas perkawanan, dan kebahagiaan.
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku Nicomachean Ethics. Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebuy, (2) apa arti keadilan dan (3) diantar dua titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.[12]

1.       Keadilan Dalam Arti Umum
Keadilan diuraikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.
Pembentukan sikap dan karakter berasal dari pengamatan terbanyak objek tertentu yang berisi ganda. Hal ini bias berlaku dua dalil, yaitu:
1.       Jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;
2.       Kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi “baik”
Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih, diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yng lain juga ambigu.
Secara umum dikatakan bahwa orang yang tak bisa adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena tindakan memenuhi atau mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan perbutan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan bagi masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Dengan demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagiaan orang lain. Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai. Keadilan dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan, namun sebagai suatu siakp khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan dalam hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama tindakan yang tidak fair.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya sesuatu tindakan yang bukan merupakan kejahatn dapat menimbulkan ketidakadilan.
Sebagai contoh, sorang pengusaha yang membayar gaji buruh dibawah UMR, adalh suatu pelanggaran hukum dan kesalahan. Namun tindakan ini belum tentu mewujudkan ketidakadilan. Apabila keuntungan dan kemampuan membayar perusahaan tersebut memang terbatas, maka jumlah pembayaran itu adalah keadilan. Sebaliknya walaupun seorang pengusaha membayar burunya sesuai UMR, yang berarti bukan kejahatan, bisa saja menimbulkan ketidakadilan karena keuntungan perusahaan tersebut sangat besar dan hanya sebagian kecil yang diambil untuk upah buruh. Ketidakadilan ini mencul karena keserakahan dan ini termasuk melanggar hak asasi buruh tersebut.
Hal tersebut di atas adalah keadilan dalam arti umum. Keadilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan terhadap hukum.
Teori keadilan Aristoteles atas pengaruh Aristoteles secara tradisioanal keadilan dibagi menjadi tiga:
1.       Keadilan Legal
Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu. Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan Negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan sama oleh Negara dihadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku.

2.       Keadilan Komutatif
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dengan orang yang lainya ata warga Negara yang satu dengan warga Negara yang lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal atara warga Negara satu dengan warga Negara lainnya. Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang adil antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengmbalikan pinjaman, memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas dan menjual barang dagangan mutu dan harga yang seimbang.

3.       Keadilan Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif yang dikenal sebagai keadilan ekonomi adalah distibusi ekonomi yang merata atau dianggap adail bagi semua warga Negara. Keadilan distributif punya relevansi dalam dunia bisnis, khususnya dalam perusahaan. Berdasarkan prinsip keadilan ala Aristoteles, setiap karyawan harus digaji sesuai dengan prestasi, tugas, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Distributif yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.

CICERO
Keadilan merupakan hak yang didapat oleh semua manusia tanpa terkecuali, dalam hal ini keadilan berarti memilik struktur paling atas dalam kehidupan di dunia. Keadilan di dapatkan oleh manusia secara bebas, tidak memerlukan budget apabila ingin memilikinya, karena keadilan merupakan hal yang murni di dapat oleh manusia sejak mereka dalam rahim ibu.
Berikut beberapa ide Cicero mengenai Keadilan[13] :
1.       Keadilan merupakan mahkota kemuliaan dari sebuah kebajikan
2.       Keadilan adalah tujuan yang konstan, yang memberikan setiap orang haknya
3.       Keadilan tidak termasuk dalam mencederai manusia
4.       Keadilan harus diperhatikan bahkan sampai titik terendah
5.       Keadilan tidak turun dari puncaknya
6.       Keadilan tidak memeras upah, tidak ada jenis harga, dia dicari untuk dirinya sendiri
7.       Keadilan ekstrim adalah ketidakadilan ekstrim
8.       Jika hidup kita terancam oleh  kekerasan maka setiap cara untuk melindungi diri kita secara moral adalah benar

Teori Keadilan Pada Masa Modern
JOHN RAWLS

 John Rawls dikenal sebagai seorang fisuf yang secara keras mengkritik ekonomi pasar bebas. Baginya pasar bebas memberikan kebebsan bagi setiap orang, namun dengan adanya pasar bebas maka keailan sulit ditegakan. Oleh karena hal ini, ia mengembangkan  sebuah teori yang disebut teori keadilan. Menurut Rawls, prinsip paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar. Menurutnya kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. [14]
Teori keadilan Rawls dapat disimpulakan memiliki inti sebagai berikut:
1.       Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri.
2.       Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaran dalam bentuk pemanfaatan  kekayaan alam. Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3.       Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls melahirkan prinsip keadilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni:
1.       Prinsip Kebebasan (liberty of principle)
2.       Prinsip Persamaan (equal of principle)
Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan dan kebebesan yang adil itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.[15]
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan:
1.       Posisi Asali (Original Postion)
Konsep ini menjelaskan dimana seseorang memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang yang ada di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi yang lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan dan lain sebagainya. Sehingga orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lain.
Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi asal” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak darimanapun (the view from nowhere), hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi sangat abstrak dari “the State of Nature”.

2.       Selubung Ketidaktahuan (Veil of Ignorence)
Konsep ini diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dan setiap orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.

Prinsip-prinsip Keadilan

Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama, yaitu:
1.       Prinsip Kebebasan (Liberty of Principle)
Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain.
Prinsip ini dikenal dengan prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion).
Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harusnya dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip ini tidak lain adalah “prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang. Prinsip ini merupakan ruh dari asas kebebasan berkontrak.

2.       Prinsip Persamaan (Equal of Principle)
Ketimpangan atau ketidaksamaan sosial dan ekonomi yang diatur sedemikian rupa, sehingga menjadi dua frasa, yakni:
a.       Prinsip Perbedaan (Difference Principle)
Memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan. Prinsip perbedaan ini berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat lemah. Prinsip ini memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar.

b.      Prinsip Persamaan Kesempatan (Equal Opportunity Principle)
Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesepakatan yang adil. Prinsip ini tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas kemampuan, dan kemauan, dan kebutuhan juga dapat dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan prespektif Rawls. Prinsip ini berpijak dari hadirnya ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapt diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage).
Prinsip-prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang. Prinsip kedua, yaitu Different Principle dan Equal Opportunity Principle, merupakan “prinsip perbedaa obyektif”, artinya prinsip kedua tersebut menjamin  terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehnga secara wajar (obyektif) diterima adanya perbedaan pertukaan asalkan memenuhi syarat good faith and fairness (redelijkhid n billijkheid. Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua idak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan azaz proposionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif. Dengan penekanannya ang begitu kuat pada pentingya member peluang yang sama bai smua pihak, Rawls berusaha agar keadlilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Rawls mengatakan bahwa prinsip Different Principle, harus lebih diprioritaskan dari prinsip yang kedua apabial keduanya berkonflik. Sedang prinsip kedua, bagian b, yaitu Equal Opportunity Principle  harus lebi diprioritaskan dari bagian a yaitu Different Principle[16].   
                                                  


BAB III
SIMPULAN

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Pada hakikatnya HAM terdiri dari atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini hak asasi manusia lainnya sulit ditegakkan.
Sedangkan filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, mengkaji sampai pada dasar-dasarnya dan berusaha untuk mencapai  akar-akar dari hukum. Dan di dalam filsafat hukum terdapat teori yang bernama teori keadilan.
Jika kita sangkut pautkan HAM itu sendiri dengan prinsip keadilan yang di dalamnya disebutkan bahwa keadilan itu memberi perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku dalam filsafat hukum jelasberkaitan. Karena Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harusnya dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip ini tidak lain adalah “prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang. Prinsip ini merupakan ruh dari asas kebebasan berkontrak.
Dan itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu.



Daftar Pustaka

Ali, Zainudin (2009). Filsafat Huku. Jakarta: Sinar Grafika.
Aristoteles. Nichomachean Ethics. Dari http://bocc.ubi.pt/pag/Aristoteles-nicomachean.html, 20 September 2013
Bambang, (2002). Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Darmodiharji, Darji (2008). Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
El-Muhtaj, Maja (2007). Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Kencana.
Erwin, Muhammad (2011). Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta: Raja Grafindo.
http:/ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/. 20 September 2013
Noer, Deliar (1997). Pemikiran Politik di Negeri Barat. Jakarta: Pustaka Mizan
Rawls, Jhon (1997). A Theory Justice






[1]  Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika), hlm.146-147


[2] Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.168-172
[3] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 94-95
[4] Bambang, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta, UII Press, No. 44/XXV/I/2002), hlm 89
[5] Prof.Dr.H.Zainuddin Ali,MA,Filsafat Hukum,Jakarta:Sinar Grafika,hlm.16
[6] Prof.Darji Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum,Pokok-Pokok Filsafat Hukum ‘Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia’,Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2008,hlm.11
[7] Herman Bakir,SH.,MH.,Filsafat Hukum ‘Desain dan Arsitektur Kesejarahan’,Bandung:Refika Aditama,2007,hlm.217
[8] Prof.Darji Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum,hlm.18
[9] Prof.Darji Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum,hlm.16-17
[10] Muhammad Erwin,Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum,Jakarta:Raja Grafindo,2011,hlm.26-27
[11] Deliar Noer,Pemikiran Politik di Negeri Barat,edisi refisi cetakan II, Jakarta:Pustaka Mizan,1997.
[12] Aristoteles,”Nicomachean Ethics”,Translated by: W.D.Ross,http://bocc.ubi.pt/pag/Aristoteles-nicomachean.html.Diaskes pada tanggal 20 September 2013, pukul.01.10
[13] http://archive.mises.org/2917/cicero-on-justice-law-and-liberty/ Diaskes pada tanggal 20 September 2013, pukul.02.30
[14] John Rawls,Teori Keadilan (a Theory Justice),1997h.3
[15] http:/ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/. Diakses pada tanggal 20 september 2013, pukul. 01.34
[16] John Rawls,Teori Keadilan (a Theory Justice),1997h.72