Sabtu, 28 Desember 2013

ASPEK TEKNIS PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN



BAB I
PENDAHULUAN


 Peraturan perundang-undangan  mempunyai beberapa aspek teknis dalam pembentukannya. Aspek tersebut dimulai dari kerangka peraturan perundang-undangan yang di dalam kerangka tersebut  terdiri dari judul, pembukaan, batang tubuh,  penutup, penjelasan (jika diperlukan), serta lampiran (jika diperlukan). Aspek teknis selanjutnya adalah konsideran yang dimana pada konsideran ini memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Setelah itu terdapat dasar hukum sebagai aspek teknis selanjutnya dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Bahasa Hukum menjadi aspek teknis selanjutnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, bahasa hukum ini sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebab tidak boleh terkandung kata-kata atau kalimat di dalam peraturan perundang-undangan yang bermakna ambigu atau multi tafsir. Yang terakhir adalah naskah akademik, penyusunan naskah akademik dalam rangka pembentukan rancangan undang-undang tidak saja menjadi permasalahan aktual di DPR,akan tetapi merupakan suatu permasalahan pula yang dihadapi oleh lembaga-lembaga lain yang berhubungan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan.



A.    Kerangka Peraturan Perundang-undangan
Setiap peraturan perundang-undangan dapat dikenali dengan melihatpada kerangka (bentuk luar, kenvorm) peraturan perundang-undangantersebut, yang secara garis besar terdiri atas:[1]

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

a.      JUDUL
Secara formal teknik penulisan judul sebagai berikut.[2]
1.     Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundanganatau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan.
2.     Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensialmaknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang–undangan
3.     Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
4.     Judul Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah dengasingkatan atau akronim.
5.     Pada nama Peraturan Perundang–undangan perubahan ditambahkanfrasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
6.     Jika Peraturan Perundang–undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atasdisisipkan keteranganyang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan,tanpa merinci perubahan sebelumnya.
7.     Jika Peraturan Perundang–undangan yang diubah mempunyai namasingkat, Peraturan Perundang–undangan perubahan dapat menggunakan namasingkat Peraturan Perundang–undangan yangdiubah.
8.     Pada nama Peraturan Perundang–undangan pencabutanditambahkankata pencabutan di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
9.     Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan katapenetapandi depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasamenjadi Undang-Undang.
10.  Pada nama Peraturan Perundang–undangan pengesahan perjanjianatau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahandidepan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akandisahkan.
11.  Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional bahasaIndonesia digunakan sebagai salah satu teks resmi, nama perjanjianatau persetujuan ditulis dalam bahasa Indonesia, yang diikuti olehbahasa asing dari teks resmi yang ditulis dengan huruf cetak miringdan diletakkan di antara tanda baca kurung.
12.  Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, bahasaIndonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian ataupersetujuan ditulis dalam bahasa Inggris dengan huruf cetak miring,dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa Indonesia yangdiletakkan di antara tanda baca kurung.

b.      PEMBUKAAN

Pembukaan Peraturan Perundang–undangan terdiri atas:
a.       Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
b.      Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
c.       Konsiderans;
d.      Dasar Hukum; dan
e.       Diktum.

c.       BATANG TUBUH

Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua substansi Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal.
Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
a.       Ketentuan Umum;
b.      Materi Pokok yang diatur;
c.       Ketentuan Pidana (jika diperlukan);
d.      Ketentuan Peralihan (jika diperlukan);
e.       Ketentuan Penutup.[3]

d.      PENUTUP

Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan yang memuat:
a.       rumusan perintah pengundangan dan penempatan PeraturanPerundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia,  Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota;
b.      penandatanganan pengesahan atau penetapan PeraturanPerundang-undangan;
c.       pengundangan atau Penetapan Peraturan Perundang-undangan;dan
d.      akhir bagian penutup.[4]

e. PENJELASAN (Jika diperlukan)

Setiap Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang (selainPeraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat diberipenjelasan  jika iperlukan.
Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Olehkarena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapatdisertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untukmemperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkanterjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.

f. LAMPIRAN

Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran,hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PeraturanPerundang-undangan. Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa.[5]

B.  Konsideran

Konsiderans merupakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan mengapa peraturan perundang-undangan tersebut perlu dibentuk. Dalam konsideran dimuat hal-hal atau pokok-pokok pikiran yang merupakan konstatasi fakta-fakta secara singkat dan yang menggerakkan pembentuk peraturan perundang-undangan  untuk membentuk perundang-undangan tersebut. Konsideran suatu peraturan perundang-undangan dituliskan dengan “Menimbang”.[6]
Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadipertimbangan dan alasan pembentukan PeraturanPerundang–undangan.
Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan DaerahProvinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secaraberurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
a.       Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan  pandangan hidup, kesadaran, dan citahukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- UndangDasarNegaraRepublikIndonesiaTahun1945.
b.      Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentukuntuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
c.       Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentukuntuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosonganhukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yangakan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Pokok pikiran yang menyatakan bahwa peraturan perundang undangan dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan di bentuknya peraturan perundang-undangan tersebut.
Jika konsideran memuat lebih dari satu  pokok pikiran,setiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
Tiap tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa da di akhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh :
Menimbang : a. Bahwa ...;
b. Bahwa ...;
c. Bahwa ...;
d. Bahwa ...;
jika kosnsideran memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut
            contoh :
            menimbang : a. Bahwa ...;
                                   b. Bahwa ...;
                                    c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,                           huruf b perlu membentuk undang undang tentang...;

            contoh :
            menimbang : a. Bahwa ...;
                                   b. Bahwa ...;
                                    c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,                           huruf b perlu menetapkan peraturan daerah tentang...;

konsideran peraturan pemerintah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari undang-undang yang memerintahkan pembentukan peraturan pemerintah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang undang yang memerintahkan pembentukannya.
            Contoh :
            Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 2011 tentang manajemen dan rekayasa ,analisis                        dampak , serta manajemen kebutuhan lalu lintas[7]
           
            Menimbang : bahwa untuk mongoptimalkan penggunaan lalu lintas dalam rangka menjamin
            Keamana, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas  dan angkutan jalan, serta
            Untuk melaksanakan ketentuan pasal  93 , pasal 101, pasal 102 ayat (3), pasal 133 ayat (5)
            Dan pasal 136 ayat (3) Undang Undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan
            Angkutan jalan, perlu memetapkan peraturan pemerintah tentang manajemen dan rekayasa
            , analisis dampak, serta manajemen kebutuhan lalulintas;
Konsiderans peraturan presiden cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlu adanya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari undang undang atau peraturan peerintah yang memerintahkan pembentukan peraturan presiden tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari undang undang atau peraturan pemerintah yang memerintahkan pembentukannya.
            Contoh :
            Peraturan presiden nomor 28 tahun 2011tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk             penambangan bawah tanah
            Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 5 ayat (2) peraturan pemerintah
            Nomor 24 tahun 2010 tentang penggunaan kawasan hutan, perlu menetapkan peraturan
            Presiden tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah;

Konsideran peraturan presiden untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan harus mememuat unsur filosofis,sosiologis , dan yurudis  yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan peraturan presiden.
Konsideran peraturan daerah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari undang undang atau peraturan pemerintah yang memerintahkan pembentukan peraturan daerah tersebut  dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari undang undang atau peraturan pemerintah yang memerintahkan pembentukannya
            Contoh :
            Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 2 peraturan pemerintah nomor
            63 tahun 2002 tentang hutan kota perlu membentuk peraturan daerah tentang hutan kota ;[8]

C.  Dasar Hukum

Dasar hukum suatu peraturan perundang-undangan merupakan suatu landasan yang bersifat yuridis bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.[9]Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat:
a.    Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundangan-undangan; dan
b.   Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.




       D. Bahasa Hukum atau Bahasa Peraturan Perundang-undangan
            Bahasa peraturan perundang-undangan memegang peranan penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, sebab pesan-pesan yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan tidak mungkin akan sampai, apabila bahasa yang dipergunakan dalam menyusun perundang-undangan itu sendiri tidak jelas atau mengandung multi tafsir[10]. Maka dari itu bahasa Indonesialah yang dipergunakan dalam perancangan peraturan perundang-undangan. Bahasa Indonesia dalam perundang-undangan adalah tetap bahasa Indonesia sehingga karena itu tetap tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang umum dan baku. Bahasa Indonesia perundang-undangan adalah suatu ragam bahasa Indonesia yang karena sifat dan tujuannya mengandung cirri yang khas sehingga karena itu berbeda dengan ragam bahasa Indonesia lainnya.
            Sebagai suatu ragam bahasa, bahasa Indonesia perundang-undangan mempunyai susunan kalimat yang tidak mengandung ketidaksempurnaan tingkat pertama dan tidak pula ketidaksempurnaan tingkat kedua. (ketidaksempurnaan tingkat pertama meliputi kandungan makna ganda, kabur, dan terlalu luas. Ketidaksempurnaan tingkat kedua meliputi ketidaktetapan kata dan ungkapan (untuk hal yang sama digunakan kata dan ungkapan berbeda), ketidaktetapan kepentingan (kata dan ungkapan yang sama digunakan untuk kepentingan yang berbeda), berlebihan, bertele-tele, kacau, ketiadaan, bantuan tanda baca untuk kalimat-kalimat panjang, dan ketidakteraturan susunan.[11]
            Mulai tahun 1972, political will pemerintah mengarah kepada pembakuan bahasa Indonesiayang menyeluruh. Untuk itu semua tulisan bidang apapun, termasuk bidang hukum dan lebih khusus lagi pada perundang-undangan, harus tunduk pada aturan ejaan yang disempurnakan. Bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai corak dan gaya yang khas bercirikan:
a.       Kejernihan pengertian;
b.      Kelugasan;
c.       Kebakuan, dan
d.      Keserasian.[12]
Fungsi Bahasa Peraturan Perundang-undangan
            Dalam penggunaannya bahasa itu sendiri tentu mempunyai fungsi, setidaknya bahasa mempunyai dua fungsi utama yaitu pertama bahasa berfungsi sebagai sarana komunikasi antar manusia, kedua bahasa berfungsi sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut. Sebagai sarana komunikasi, bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai beberapa fungsi, yakni:
a.       Fungsi Simbolik, untuk menyampaikan sesuatu melalui symbol-simbol tertentu, yang berfungsi untuk mengkomunikasikan buah pikiran dari setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku melalui simbol-simbol tertentu;
b.      Fungsi Emotif, untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat emosi atau mengandung ungkapan sesuatu;
c.       Fungsi Afektif, untuk mengekspresikan sikap.
Selain fungsi-fungsi diatas, bahasa peraturan perundang-undangan juga berfungsi sebagai sarana budaya, yakni alat pemersatu, dan penyelaras antara perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan perundang-undangan sebagai hasil karya, cipta dan karsa manusia menunjukkan budaya suatu bangsa. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut terdapat bahasa perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana budaya yakni sebagai alat pemersatu bangsa.[13]
Ketika dalam penyusunannya dan sebelum berlakunya peraturan perundang-undangan terdapat dua peristiwa yang harus diperhitungan. Peristiwa tersebut salah satu dari padanya perlu dipertimbangkan baik-baik, yakni pembentukan peraturan perundang-undangan melalui penyusunannya. Penggunaan dan penafsiran bahasa menjadi sangat penting, bahkan sangat menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan akan mencapai maksud dan tujuannya atau tidak. Penggunaan bahasa dalam peraturan perundang-undangan dan penuangan wawasan dan gagasannya ke dalam kata-kata, dalam kalimat dan ungkapan perlu dilihat juga dari sudut pembacanya, yakni bagaimana pembaca mengartikannya, memahaminya, dan menafsirkannya. Tentang peraturan perundang-undagan itu seharusnya sebagai berikut:
a.       Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja; hendaknya tidak untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada yang ada pada rata-rata manusia;
b.      Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, pembatasan, atau pengubahan, kecuali apabila dianggapnya perlu;
c.       Hendaknya tidak memancing perdebatan atau perbantahan; adalah berbahaya memberikan alasan-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu pertentangan.[14]
Bahasa Indonesia sebagaimana Tertuang Dalam Peraturan Perundang-undangan kiranya perlu disimak beberapa produk hukum tersebut dari waktu ke waktu, meski dengan disertai catatan bahwa yang tertuang belakangan belum berarti lebih baik dari pada yang tertuang terlebih dahulu. Kita contohkan sebagai berikut yang terkait kata yang berubah arti : apabila dalam UUD 1945 terdapat kata-kata atau ungkapan yang terbaca/terdengar agak aneh, mungkin hal itu dapat dimengerti mengingat penggunaan bahasa Indonesia untuk penulisan norma-norma hukum pada tahum 1940-an masih belum terbiasa. Dalam Penjelasan UUD 1945, umpamanya mengenai Pasal 19, 20, 21 dan 23 terdapat beberapa kata yang apabila tidak diperhatikan perkembangan artinya serta tidak pula dihubungkan dengan pemahaman tentang Sistem Pemerintahan Negara yang berlaku menurut UUD 1945 sendiri, maka kalimat itu terasa sangat tidak masuk akal, mustahi, absurd. Kalimat itu berbunyi :
Dewan ini harus member persetujuannya kepada tiap-tiap rancangan undang-undang dari pemerintah”.
            Apabila kalimat itu diartikan secara harfiah atau dipahami hanya dari bunyinya, maka tidaklah mungkin DPR harus selalu meberi persetujuan tanpa hak untuk menolak Rancangan Undang-Undang yang datang dari Pemerintah. ‘Kunci’ masalahnya barangkali terletak pada arti kata-kata “member persetujuan”. “Persetujuan” berasal dari kata kerja atau verba “bersetuju” yang berarti “sepakat” atau “sependapat”. Karena itu arti kata “bersetuju” disana masih bersifat netral dalam arti dapat menerima ataupun menolak, bahkan dapat pula tidak member suara atau tidak menyatakan pendapat sama sekali. Yang diharuskan dalam menghadapi Rancangan Undang-Undang dari pemerintah ialah DPR mengadakan kesepakatan, mengadakan mufakat, atau membulatkan pendapat, baik untuk menerima atau menyetujui maupun untuk menolak/tidak menyetujui rancangan tersebut. Kata “harus” di sana menyebabkan DPR tidak dibenarkan untuk tidak menyatakan kesepakatan; DPR tidak diperbolehkan bersikap “masa bodoh” atau membiarkan rancangan tanpa keputusan. (Kata “bersetuju” dewasa ini memang telah mempunyai ‘muatan’ yang lebih sempit dari pada ketika tahun 1940-an; apabila dulu ‘netral’ kini telah ‘memilih pihak’, kini berarti “menyetujui”, “menerima”, “mengiakan”, “membenarkan”.[15])

D. Naskah Akademik
Pengertian Naskah Akademik
Naskah Akademik mepunyai istilah “Konsep Naskah RUU” ini dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Beliau mengemukakannya sebagai berikut: pusat ini tidak bertugas menyusun konsep RUU Pemerintah walaupun dalam bentuk naskah pertama (first draft). Tugas pusat ini adalah untuk menyusun konsep naskah RUU yang merupakan bahan bagi Direktorat Perundang-undangan dalam melaksanakan tugasnya sebagai sebagai unit dari Departemen. Kemudian penggunaan istilah ‘naskah akademik’ oleh BPHN dimulai pada tahun 1979 yaitudengan disusun sebuah Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Pemetaan Nasional.
Pengertian Naskah Akademik juga dikemukakan pada tahun 1980 oleh CH. Latief dalam pembuatan Naskah Akademik tentang Kereta Api sebagai berikut: “Naskah Akademik sebagai landasan penyusunan Rancangan Undang-undang Perkeretaapian kegiatan untuk mengadakan inventarisasi pokok-pokok pemikiran yang akan dapat dijadikan landasan guna penyusunan rancangan undang-undang perkertaapian yang bersangkutan”. Naskah Akademik menurut Moh. Hasan Wargakusumah adalah “Apabila ditarik hal-hal yang terkait Antara Inpres Nomor 15 Tahun 1970, maka akan nampak pengertian dari naskah akademik peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Kedudukan berada sebelum proses RUU
2.      Sifatnya memberikan alternatif
3.      Isinya meliputi:
a.       Urgensi perlu dibuatnya UU baru
1)      Hasil inventarisasi hukum positif
2)      Hasil identifikasi permasalahan hukum yang dihadapi
b.      Gagasan materi hukum yang diperkuat oleh dasar-dasar pemikiran
c.       Landasan dan prinsip-prinsip hukum yang telah dianalisa dan ditinjau secara sistemik holistik
d.      Alternatif norma harus didukung oleh dasar-dasar pemikiran yang akurat sesuai dengan data-data hasil penelitian
4.      Sistematika penyusunan naskah harus bersifat perpaduan antara pengkajian ilmiah dan penyusunan RUU, sebab naskah akademik ini merupakan kajian ilmiah yang harus sudah diarahkan bagi penyusunan RUU/RPP tertentu.
Menurut Multiwati Darus Naskah Akademik terdiri dari dua kata yaitu naskah dan akademik, naskah adalah rancangan dan akademik adalah bersifat akademik, sedangkan akademis mempunyai arti bersifat ilmu pengetahuan. Dari kedua pengertian kata tersebut Naskah Akademik dapat diartikan sebagai suatu rancangan yang bersifat akademis atau ilmu pengetahuan.[16]
Keberadaan Naskah Akademik
            Pada awalnya keberadaan Naskah Akademik belum menjadi suatu keharusan dalam penyusunan Rancangan. Berdasarkan rumusan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998 tersebut, menurut Maria Indrati Soeprapto keberadaan suatu Naskah Akademik dalam pembentukan rancangan undang-undang (dan peraturan perundang-undangan lainnya) belum merupakan suatu kewajiban. Kewajiban membentuk suatu rancangan akademik masih bersifat tidak mengikat (alternatif), oleh karena dalam Pasal 3 ayat 1 hanya dirumuskan dengan kata “dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik” dan tidak dirumuskan dengan kata  “wajib terlebih dahulu menyusun rancangan akademik. Selain itu, dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 15/DPR RI/2004-2005 keberadaan suatu naskah akademik perlu menjadi pertimbangan. Hal ini disebabkan dalam Pasal 119 ayat 5 Peraturan Tata Tertib DPR RI tersebut terlihat bahwa kewajiban untuk menyusun Naskah Akademik dalam pembentukan rancangan undang-undang masih bersifat suatu alternatif. Dengan demikian, suatu rancangan undang-undang boleh diajukan dengan naskah akademik atau tidak beserta Naskah Akademik, asal rancangan undang-undang tersebut disertai penjelasan dan keterangan.
            Kemudian sejak tahun 2011, Naskah Akademik tidak bersifat alternatif lagi, akan tetapi merupakan sebuah keharusan. Hal ini sesuia dengan Pasal 43 ayat 3 UU No. 12 Tahun 2011 yang menetukan bahwa “Rancangan Undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. [17]
Fungsi Naskah Akademik
            Naskah Akademik dibentuk bukan tanpa tujua yang pasti. Fungsi Naskah Akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sebagai:
1.      Bahan awal yang memuat gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan;
2.      Bahan pertimbangan yang digunakan dalam permohonan izin prakarsa penyusunan RUU/RPP kepada Presiden; dan
3.      Bahan dasar bagi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan.
Fungsi yang pertama yakni sebagai bahan awal pembentukan peraturan perundang-undangan didalam Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden, pada pasal 5 ayat 1 ditentukan bahwa: “Pemrakarsa dalam menyusun rancangan undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang”.
Fungsi yang kedua adalah sebagai bahan pembahasan. Hal ini tercermin di dalam Perpres No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Fungsi ketiga yaitu sebagai bahan dasar bagi penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Sebagai bahan dasar bagi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, maka sebuah Naskah Akademik dapat diibaratkan sebagai pondasi sebuah rumah.[18]
Unsur-unsur Naskah Akademik
            Naskah Akademik merupakan koridor kepakaran dalam penuyusunan suatu peraturan, perlu di siapkan agar peraturan perundang-undangan yang hendak disusun tidak hanya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis tetapi juga untuk menjamin pertauran tersebut telah memenuhi nilai-nilai filosofis, yuridis, dan aspek-aspek soaial lainnya. Dalam lampiran keputusan tersebut telah dirumuskan tentang Petujuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Nama /Istilah
2.      Bentuk dan Isi
unsur-unsur yang perlu ada dalam suatu Naskah Akademik adalah urgensi disusunnya pengaturan baru suatu materi hukum yang menggambarkan:
a.       Hasil inventarisasi hukum positif;
b.      Hasil inventarisasi permasalahan hukum yang dihadapi;
c.       Sebab-sebab diperlukannya peraturan perundangan-undangan yang baru;
d.      Gagasan-gagasan tentang materi hukum yang dituangkan kedalam Rancangan Undang-undang dan atau Rancangan Peraturan Pemerintah;
e.       Konsepsi landasan,alas hukum dan prinsip yang akan digunakan;
f.       Pemikiran tentang norma-normanya yang telah dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal;
g.       Gagasan awal naskah Rancangan Undang-undang dan atau Rancangan Peraturan Pemerintah yang disusun secara sistematis sesuai dengan teknik penyusunan peraturan peraturan perundang-undangan: bab demi bab, serta pasal demi pasal untuk memudahkan dan mempercepat penggarapan RUU/RPP selanjutnya oleh instansi yang berwenang menyusun RUU/RPP.
3.      Format Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan terdiri dari dua bagian, yaitu:
a.       Bagian pertama adalah Laporan Hasil Pengkajian dan Penelitian tentang RUU yang akan dirancangkan.
b.      Bagian kedua adalah Konsep Awal Rancangan Undang-undang yang terdiri dari pasal-pasal  yang diusulkan.[19]






Daftar Pustaka

Bagir Manan, Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: CV.Amrico, 1987)
Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972; dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0196/U/1975
Lampiran Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: KANISIUS, 2007)
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang undangan jilid II Proses dan teknik pembentukannya,(Jogjakarta:Kansius,2013)
Rachmat Trijno, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2003)



[1] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya, (Jogjakarta: Kansius,2013), h. 103
[2] Lampiran Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011
[3] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya, h.115
[4] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya , h.138
[5] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya, h.142-143
[6]DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, diunduh tanggal 13 oktober 2013, pukul 10.25 WIB
[7] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya, h. 108-109
[8]Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya, h. 108-110
[9]Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya, hlm. 110
[10] Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, h.125
[11] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius, 2006), h.199
[12] Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, h.126
[13] Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, h. 127-129
[14] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, h.202-203
[15] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, h.208
[16] Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2013), h. 95-97
[17] Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, h.109-111
[18] Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, h.111-112
[19] Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, h.113-114