BAB I
PENDAHULUAN
Peraturan perundang-undangan mempunyai beberapa aspek teknis dalam
pembentukannya. Aspek tersebut dimulai dari kerangka peraturan
perundang-undangan yang di dalam kerangka tersebut terdiri dari judul, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan (jika diperlukan), serta
lampiran (jika diperlukan). Aspek teknis selanjutnya adalah konsideran yang
dimana pada konsideran ini memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran
yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Setelah itu terdapat dasar hukum sebagai aspek teknis selanjutnya dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dasar hukum memuat dasar kewenangan
pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Bahasa Hukum menjadi aspek teknis
selanjutnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, bahasa hukum ini
sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebab tidak boleh
terkandung kata-kata atau kalimat di dalam peraturan perundang-undangan yang
bermakna ambigu atau multi tafsir. Yang terakhir adalah naskah akademik,
penyusunan naskah akademik dalam rangka pembentukan rancangan undang-undang
tidak saja menjadi permasalahan aktual di DPR,akan tetapi merupakan suatu
permasalahan pula yang dihadapi oleh lembaga-lembaga lain yang berhubungan
dengan penyusunan peraturan perundang-undangan.
A. Kerangka Peraturan
Perundang-undangan
Setiap peraturan perundang-undangan
dapat dikenali dengan melihatpada kerangka (bentuk luar, kenvorm) peraturan
perundang-undangantersebut, yang secara garis besar terdiri
atas:[1]
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
a. JUDUL
Secara formal teknik penulisan judul
sebagai berikut.[2]
1. Judul
Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun
pengundanganatau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan.
2. Nama
Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1
(satu) kata atau frasa tetapi secara esensialmaknanya telah dan mencerminkan
isi Peraturan Perundang–undangan
3. Judul
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa
diakhiri tanda baca.
4. Judul
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah dengasingkatan atau akronim.
5. Pada
nama Peraturan Perundang–undangan perubahan ditambahkanfrasa perubahan atas di
depan judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
6. Jika
Peraturan Perundang–undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara
kata perubahan dan kata atasdisisipkan keteranganyang menunjukkan berapa kali
perubahan tersebut telah dilakukan,tanpa merinci perubahan sebelumnya.
7. Jika
Peraturan Perundang–undangan yang diubah mempunyai namasingkat, Peraturan Perundang–undangan
perubahan dapat menggunakan namasingkat Peraturan Perundang–undangan
yangdiubah.
8. Pada
nama Peraturan Perundang–undangan pencabutanditambahkankata pencabutan di depan
judul Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
9. Pada
nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan
menjadi Undang–Undang, ditambahkan katapenetapandi depan judul Peraturan
Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasamenjadi
Undang-Undang.
10. Pada
nama Peraturan Perundang–undangan pengesahan perjanjianatau persetujuan
internasional, ditambahkan kata pengesahandidepan nama perjanjian atau
persetujuan internasional yang akandisahkan.
11. Jika
dalam perjanjian atau persetujuan internasional bahasaIndonesia digunakan
sebagai salah satu teks resmi, nama perjanjianatau persetujuan ditulis dalam
bahasa Indonesia, yang diikuti olehbahasa asing dari teks resmi yang ditulis
dengan huruf cetak miringdan diletakkan di antara tanda baca kurung.
12. Jika
dalam perjanjian atau persetujuan internasional, bahasaIndonesia tidak
digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian ataupersetujuan ditulis dalam
bahasa Inggris dengan huruf cetak miring,dan diikuti oleh terjemahannya dalam
bahasa Indonesia yangdiletakkan di antara tanda baca kurung.
b.
PEMBUKAAN
Pembukaan Peraturan Perundang–undangan terdiri atas:
a. Frasa
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
b. Jabatan
pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
c. Konsiderans;
d. Dasar
Hukum; dan
e. Diktum.
c.
BATANG
TUBUH
Batang
tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua substansi Peraturan
Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal.
Pada
umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
a.
Ketentuan
Umum;
b.
Materi
Pokok yang diatur;
c.
Ketentuan
Pidana (jika diperlukan);
d.
Ketentuan
Peralihan (jika diperlukan);
e.
Ketentuan
Penutup.[3]
d.
PENUTUP
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan yang
memuat:
a.
rumusan perintah pengundangan dan penempatan
PeraturanPerundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah
Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita
Daerah Kabupaten/Kota;
b.
penandatanganan pengesahan atau penetapan
PeraturanPerundang-undangan;
c.
pengundangan atau Penetapan Peraturan Perundang-undangan;dan
d. akhir
bagian penutup.[4]
e. PENJELASAN (Jika diperlukan)
Setiap Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan. Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang (selainPeraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat
diberipenjelasan jika iperlukan.
Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan
Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Olehkarena itu,
penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan
kata/istilah asing dalam norma yang dapatdisertai dengan contoh. Penjelasan
sebagai sarana untukmemperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkanterjadinya
ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
f. LAMPIRAN
Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran,hal
tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari PeraturanPerundang-undangan. Lampiran dapat memuat
antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa.[5]
B. Konsideran
Konsiderans
merupakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan mengapa peraturan
perundang-undangan tersebut perlu dibentuk. Dalam konsideran dimuat hal-hal
atau pokok-pokok pikiran yang merupakan konstatasi fakta-fakta secara singkat
dan yang menggerakkan pembentuk peraturan perundang-undangan untuk membentuk perundang-undangan tersebut.
Konsideran suatu peraturan perundang-undangan dituliskan dengan “Menimbang”.[6]
Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang
menjadipertimbangan dan alasan pembentukan PeraturanPerundang–undangan.
Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan
DaerahProvinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis,
sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya
yang penulisannya ditempatkan secaraberurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis.
a. Unsur
filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan citahukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber
dari Pancasila dan Pembukaan Undang- UndangDasarNegaraRepublikIndonesiaTahun1945.
b. Unsur
sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentukuntuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek.
c. Unsur
yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentukuntuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosonganhukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah
ada, yangakan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat.
Pokok
pikiran yang menyatakan bahwa peraturan perundang undangan dianggap perlu untuk
dibentuk adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan
di bentuknya peraturan perundang-undangan tersebut.
Jika
konsideran memuat lebih dari satu pokok
pikiran,setiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan
kesatuan pengertian.
Tiap
tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad dan dirumuskan dalam satu kalimat
yang diawali dengan kata bahwa da di akhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh :
Menimbang : a. Bahwa
...;
b. Bahwa ...;
c. Bahwa ...;
d. Bahwa ...;
jika
kosnsideran memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan
terakhir berbunyi sebagai berikut
contoh :
menimbang : a. Bahwa ...;
b. Bahwa ...;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b perlu membentuk undang
undang tentang...;
contoh
:
menimbang : a. Bahwa ...;
b. Bahwa ...;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b perlu menetapkan peraturan
daerah tentang...;
konsideran
peraturan pemerintah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas
mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari
undang-undang yang memerintahkan pembentukan peraturan pemerintah tersebut
dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang undang yang memerintahkan
pembentukannya.
Contoh :
Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun
2011 tentang manajemen dan rekayasa ,analisis dampak
, serta manajemen kebutuhan lalu lintas[7]
Menimbang : bahwa untuk
mongoptimalkan penggunaan lalu lintas dalam rangka menjamin
Keamana, keselamatan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas dan angkutan
jalan, serta
Untuk melaksanakan ketentuan
pasal 93 , pasal 101, pasal 102 ayat
(3), pasal 133 ayat (5)
Dan pasal 136 ayat (3) Undang Undang
nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan
Angkutan jalan, perlu memetapkan
peraturan pemerintah tentang manajemen dan rekayasa
, analisis dampak, serta manajemen
kebutuhan lalulintas;
Konsiderans peraturan presiden
cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlu adanya
melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari undang undang atau
peraturan peerintah yang memerintahkan pembentukan peraturan presiden tersebut
dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari undang undang atau peraturan
pemerintah yang memerintahkan pembentukannya.
Contoh :
Peraturan presiden nomor 28 tahun
2011tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
ketentuan pasal 5 ayat (2) peraturan pemerintah
Nomor 24 tahun 2010 tentang
penggunaan kawasan hutan, perlu menetapkan peraturan
Presiden tentang penggunaan kawasan
hutan lindung untuk penambangan bawah tanah;
Konsideran
peraturan presiden untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan harus mememuat
unsur filosofis,sosiologis , dan yurudis
yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan peraturan presiden.
Konsideran
peraturan daerah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas
mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari undang
undang atau peraturan pemerintah yang memerintahkan pembentukan peraturan
daerah tersebut dengan menunjuk pasal
atau beberapa pasal dari undang undang atau peraturan pemerintah yang
memerintahkan pembentukannya
Contoh :
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
ketentuan pasal 2 peraturan pemerintah nomor
63 tahun 2002 tentang hutan kota
perlu membentuk peraturan daerah tentang hutan kota ;[8]
C. Dasar Hukum
Dasar hukum suatu peraturan perundang-undangan merupakan suatu landasan
yang bersifat yuridis bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.[9]Dasar
hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat:
a.
Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundangan-undangan; dan
b.
Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
D. Bahasa Hukum atau Bahasa Peraturan
Perundang-undangan
Bahasa peraturan perundang-undangan
memegang peranan penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, sebab
pesan-pesan yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan tidak mungkin
akan sampai, apabila bahasa yang dipergunakan dalam menyusun perundang-undangan
itu sendiri tidak jelas atau mengandung multi tafsir[10].
Maka dari itu bahasa Indonesialah yang dipergunakan dalam perancangan peraturan
perundang-undangan. Bahasa Indonesia dalam perundang-undangan adalah tetap
bahasa Indonesia sehingga karena itu tetap tunduk pada kaidah-kaidah bahasa
Indonesia yang umum dan baku. Bahasa Indonesia perundang-undangan adalah suatu
ragam bahasa Indonesia yang karena sifat dan tujuannya mengandung cirri yang
khas sehingga karena itu berbeda dengan ragam bahasa Indonesia lainnya.
Sebagai suatu ragam bahasa, bahasa
Indonesia perundang-undangan mempunyai susunan kalimat yang tidak mengandung
ketidaksempurnaan tingkat pertama dan tidak pula ketidaksempurnaan tingkat
kedua. (ketidaksempurnaan tingkat pertama meliputi kandungan makna ganda,
kabur, dan terlalu luas. Ketidaksempurnaan tingkat kedua meliputi
ketidaktetapan kata dan ungkapan (untuk hal yang sama digunakan kata dan
ungkapan berbeda), ketidaktetapan kepentingan (kata dan ungkapan yang sama
digunakan untuk kepentingan yang berbeda), berlebihan, bertele-tele, kacau,
ketiadaan, bantuan tanda baca untuk kalimat-kalimat panjang, dan ketidakteraturan
susunan.[11]
Mulai tahun 1972, political will pemerintah mengarah
kepada pembakuan bahasa Indonesiayang menyeluruh. Untuk itu semua tulisan
bidang apapun, termasuk bidang hukum dan lebih khusus lagi pada
perundang-undangan, harus tunduk pada aturan ejaan yang disempurnakan. Bahasa
peraturan perundang-undangan mempunyai corak dan gaya yang khas bercirikan:
a.
Kejernihan
pengertian;
b.
Kelugasan;
c.
Kebakuan,
dan
d.
Keserasian.[12]
Fungsi Bahasa Peraturan
Perundang-undangan
Dalam penggunaannya bahasa itu sendiri tentu
mempunyai fungsi, setidaknya bahasa mempunyai dua fungsi utama yaitu pertama bahasa berfungsi sebagai sarana
komunikasi antar manusia, kedua bahasa
berfungsi sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang
menggunakan bahasa tersebut. Sebagai sarana komunikasi, bahasa peraturan
perundang-undangan mempunyai beberapa fungsi, yakni:
a.
Fungsi
Simbolik, untuk menyampaikan sesuatu melalui symbol-simbol tertentu, yang
berfungsi untuk mengkomunikasikan buah pikiran dari setiap putusan tertulis
yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau Pejabat Negara
yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang
berlaku melalui simbol-simbol tertentu;
b.
Fungsi
Emotif, untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat emosi atau mengandung ungkapan
sesuatu;
c.
Fungsi
Afektif, untuk mengekspresikan sikap.
Selain fungsi-fungsi diatas,
bahasa peraturan perundang-undangan juga berfungsi sebagai sarana budaya, yakni
alat pemersatu, dan penyelaras antara perundang-undangan yang satu dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan perundang-undangan sebagai
hasil karya, cipta dan karsa manusia menunjukkan budaya suatu bangsa. Di dalam
peraturan perundang-undangan tersebut terdapat bahasa perundang-undangan yang
berfungsi sebagai sarana budaya yakni sebagai alat pemersatu bangsa.[13]
Ketika dalam penyusunannya dan
sebelum berlakunya peraturan perundang-undangan terdapat dua peristiwa yang
harus diperhitungan. Peristiwa tersebut salah satu dari padanya perlu
dipertimbangkan baik-baik, yakni pembentukan peraturan perundang-undangan
melalui penyusunannya. Penggunaan dan penafsiran bahasa menjadi sangat penting,
bahkan sangat menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan akan
mencapai maksud dan tujuannya atau tidak. Penggunaan bahasa dalam peraturan
perundang-undangan dan penuangan wawasan dan gagasannya ke dalam kata-kata,
dalam kalimat dan ungkapan perlu dilihat juga dari sudut pembacanya, yakni
bagaimana pembaca mengartikannya, memahaminya, dan menafsirkannya. Tentang
peraturan perundang-undagan itu seharusnya sebagai berikut:
a.
Hendaknya
tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena rakyat
banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja; hendaknya tidak
untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada yang ada pada
rata-rata manusia;
b.
Hendaknya
tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, pembatasan, atau
pengubahan, kecuali apabila dianggapnya perlu;
c.
Hendaknya
tidak memancing perdebatan atau perbantahan; adalah berbahaya memberikan
alasan-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu
pertentangan.[14]
Bahasa Indonesia sebagaimana
Tertuang Dalam Peraturan Perundang-undangan kiranya perlu disimak beberapa
produk hukum tersebut dari waktu ke waktu, meski dengan disertai catatan bahwa
yang tertuang belakangan belum berarti lebih baik dari pada yang tertuang
terlebih dahulu. Kita contohkan sebagai berikut yang terkait kata yang berubah
arti : apabila dalam UUD 1945 terdapat kata-kata atau ungkapan yang
terbaca/terdengar agak aneh, mungkin hal itu dapat dimengerti mengingat
penggunaan bahasa Indonesia untuk penulisan norma-norma hukum pada tahum
1940-an masih belum terbiasa. Dalam Penjelasan UUD 1945, umpamanya mengenai
Pasal 19, 20, 21 dan 23 terdapat beberapa kata yang apabila tidak diperhatikan
perkembangan artinya serta tidak pula dihubungkan dengan pemahaman tentang
Sistem Pemerintahan Negara yang berlaku menurut UUD 1945 sendiri, maka kalimat
itu terasa sangat tidak masuk akal, mustahi, absurd. Kalimat itu berbunyi :
“Dewan ini harus member persetujuannya kepada tiap-tiap rancangan
undang-undang dari pemerintah”.
Apabila kalimat itu diartikan secara
harfiah atau dipahami hanya dari bunyinya, maka tidaklah mungkin DPR harus
selalu meberi persetujuan tanpa hak untuk menolak Rancangan Undang-Undang yang
datang dari Pemerintah. ‘Kunci’ masalahnya barangkali terletak pada arti
kata-kata “member persetujuan”. “Persetujuan” berasal dari kata kerja atau
verba “bersetuju” yang berarti “sepakat” atau “sependapat”. Karena itu arti
kata “bersetuju” disana masih bersifat netral dalam arti dapat menerima ataupun
menolak, bahkan dapat pula tidak member suara atau tidak menyatakan pendapat
sama sekali. Yang diharuskan dalam menghadapi Rancangan Undang-Undang dari
pemerintah ialah DPR mengadakan kesepakatan, mengadakan mufakat, atau
membulatkan pendapat, baik untuk menerima atau menyetujui maupun untuk
menolak/tidak menyetujui rancangan tersebut. Kata “harus” di sana menyebabkan
DPR tidak dibenarkan untuk tidak menyatakan kesepakatan; DPR tidak
diperbolehkan bersikap “masa bodoh” atau membiarkan rancangan tanpa keputusan.
(Kata “bersetuju” dewasa ini memang telah mempunyai ‘muatan’ yang lebih sempit
dari pada ketika tahun 1940-an; apabila dulu ‘netral’ kini telah ‘memilih
pihak’, kini berarti “menyetujui”, “menerima”, “mengiakan”, “membenarkan”.[15])
D. Naskah Akademik
Pengertian Naskah Akademik
Naskah Akademik mepunyai istilah
“Konsep Naskah RUU” ini dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Beliau
mengemukakannya sebagai berikut: pusat ini tidak bertugas menyusun konsep RUU
Pemerintah walaupun dalam bentuk naskah pertama (first draft). Tugas pusat ini adalah untuk menyusun konsep naskah
RUU yang merupakan bahan bagi Direktorat Perundang-undangan dalam melaksanakan
tugasnya sebagai sebagai unit dari Departemen. Kemudian penggunaan istilah
‘naskah akademik’ oleh BPHN dimulai pada tahun 1979 yaitudengan disusun sebuah
Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Pemetaan Nasional.
Pengertian Naskah Akademik juga
dikemukakan pada tahun 1980 oleh CH. Latief dalam pembuatan Naskah Akademik
tentang Kereta Api sebagai berikut: “Naskah Akademik sebagai landasan
penyusunan Rancangan Undang-undang Perkeretaapian kegiatan untuk mengadakan
inventarisasi pokok-pokok pemikiran yang akan dapat dijadikan landasan guna
penyusunan rancangan undang-undang perkertaapian yang bersangkutan”. Naskah
Akademik menurut Moh. Hasan Wargakusumah adalah “Apabila ditarik hal-hal yang
terkait Antara Inpres Nomor 15 Tahun 1970, maka akan nampak pengertian dari
naskah akademik peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut:
1.
Kedudukan
berada sebelum proses RUU
2.
Sifatnya
memberikan alternatif
3.
Isinya
meliputi:
a.
Urgensi
perlu dibuatnya UU baru
1)
Hasil
inventarisasi hukum positif
2)
Hasil
identifikasi permasalahan hukum yang dihadapi
b.
Gagasan
materi hukum yang diperkuat oleh dasar-dasar pemikiran
c.
Landasan
dan prinsip-prinsip hukum yang telah dianalisa dan ditinjau secara sistemik
holistik
d.
Alternatif
norma harus didukung oleh dasar-dasar pemikiran yang akurat sesuai dengan
data-data hasil penelitian
4.
Sistematika
penyusunan naskah harus bersifat perpaduan antara pengkajian ilmiah dan
penyusunan RUU, sebab naskah akademik ini merupakan kajian ilmiah yang harus
sudah diarahkan bagi penyusunan RUU/RPP tertentu.
Menurut Multiwati Darus Naskah
Akademik terdiri dari dua kata yaitu naskah dan akademik, naskah adalah
rancangan dan akademik adalah bersifat akademik, sedangkan akademis mempunyai
arti bersifat ilmu pengetahuan. Dari kedua pengertian kata tersebut Naskah
Akademik dapat diartikan sebagai suatu rancangan yang bersifat akademis atau
ilmu pengetahuan.[16]
Keberadaan Naskah Akademik
Pada awalnya keberadaan Naskah Akademik belum
menjadi suatu keharusan dalam penyusunan Rancangan. Berdasarkan rumusan dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998 tersebut, menurut
Maria Indrati Soeprapto keberadaan suatu Naskah Akademik dalam pembentukan
rancangan undang-undang (dan peraturan perundang-undangan lainnya) belum
merupakan suatu kewajiban. Kewajiban membentuk suatu rancangan akademik masih
bersifat tidak mengikat (alternatif), oleh karena dalam Pasal 3 ayat 1 hanya
dirumuskan dengan kata “dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik”
dan tidak dirumuskan dengan kata “wajib
terlebih dahulu menyusun rancangan akademik. Selain itu, dalam Peraturan Tata Tertib
DPR RI No. 15/DPR RI/2004-2005 keberadaan suatu naskah akademik perlu menjadi
pertimbangan. Hal ini disebabkan dalam Pasal 119 ayat 5 Peraturan Tata Tertib
DPR RI tersebut terlihat bahwa kewajiban untuk menyusun Naskah Akademik dalam
pembentukan rancangan undang-undang masih bersifat suatu alternatif. Dengan
demikian, suatu rancangan undang-undang boleh diajukan dengan naskah akademik
atau tidak beserta Naskah Akademik, asal rancangan undang-undang tersebut
disertai penjelasan dan keterangan.
Kemudian sejak tahun 2011, Naskah
Akademik tidak bersifat alternatif lagi, akan tetapi merupakan sebuah
keharusan. Hal ini sesuia dengan Pasal 43 ayat 3 UU No. 12 Tahun 2011 yang
menetukan bahwa “Rancangan Undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau
DPD harus disertai Naskah Akademik. [17]
Fungsi Naskah Akademik
Naskah Akademik dibentuk bukan tanpa tujua yang
pasti. Fungsi Naskah Akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah sebagai:
1.
Bahan
awal yang memuat gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan materi
muatan suatu peraturan perundang-undangan;
2.
Bahan
pertimbangan yang digunakan dalam permohonan izin prakarsa penyusunan RUU/RPP
kepada Presiden; dan
3.
Bahan
dasar bagi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan.
Fungsi yang pertama yakni sebagai bahan awal pembentukan peraturan
perundang-undangan didalam Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan
Rancangan Peraturan Presiden, pada pasal 5 ayat 1 ditentukan bahwa: “Pemrakarsa
dalam menyusun rancangan undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah
Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang”.
Fungsi yang kedua adalah sebagai bahan pembahasan. Hal ini tercermin di dalam
Perpres No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Fungsi ketiga yaitu sebagai bahan dasar bagi penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan. Sebagai bahan dasar bagi penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan, maka sebuah Naskah Akademik dapat diibaratkan
sebagai pondasi sebuah rumah.[18]
Unsur-unsur Naskah Akademik
Naskah Akademik merupakan koridor
kepakaran dalam penuyusunan suatu peraturan, perlu di siapkan agar peraturan
perundang-undangan yang hendak disusun tidak hanya dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis tetapi juga untuk menjamin pertauran tersebut telah memenuhi
nilai-nilai filosofis, yuridis, dan aspek-aspek soaial lainnya. Dalam lampiran
keputusan tersebut telah dirumuskan tentang Petujuk Teknis Penyusunan Naskah
Akademik Peraturan Perundang-undangan yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.
Nama
/Istilah
2.
Bentuk
dan Isi
unsur-unsur yang perlu ada dalam
suatu Naskah Akademik adalah urgensi disusunnya pengaturan baru suatu materi
hukum yang menggambarkan:
a.
Hasil
inventarisasi hukum positif;
b.
Hasil
inventarisasi permasalahan hukum yang dihadapi;
c.
Sebab-sebab
diperlukannya peraturan perundangan-undangan yang baru;
d.
Gagasan-gagasan
tentang materi hukum yang dituangkan kedalam Rancangan Undang-undang dan atau
Rancangan Peraturan Pemerintah;
e.
Konsepsi
landasan,alas hukum dan prinsip yang akan digunakan;
f.
Pemikiran
tentang norma-normanya yang telah dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal;
g.
Gagasan
awal naskah Rancangan Undang-undang dan atau Rancangan Peraturan Pemerintah
yang disusun secara sistematis sesuai dengan teknik penyusunan peraturan
peraturan perundang-undangan: bab demi bab, serta pasal demi pasal untuk
memudahkan dan mempercepat penggarapan RUU/RPP selanjutnya oleh instansi yang
berwenang menyusun RUU/RPP.
3.
Format
Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan terdiri dari dua bagian, yaitu:
a.
Bagian
pertama adalah Laporan Hasil Pengkajian dan Penelitian tentang RUU yang akan
dirancangkan.
b.
Bagian
kedua adalah Konsep Awal Rancangan Undang-undang yang terdiri dari
pasal-pasal yang diusulkan.[19]
Daftar Pustaka
Bagir
Manan, Kuntana Magnar, Peranan Peraturan
Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: CV.Amrico,
1987)
Keputusan
Presiden Nomor 57 Tahun 1972; dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0196/U/1975
Lampiran
Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011
Maria
Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: KANISIUS, 2007)
Maria
Farida Indrati S, Ilmu Perundang undangan jilid II Proses dan teknik
pembentukannya,(Jogjakarta:Kansius,2013)
Rachmat
Trijno, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Jakarta: Papas Sinar
Sinanti, 2003)
[1] Maria Farida Indrati S.,
Ilmu Perundang-Undangan jilid II Proses
dan Teknik Pembentukannya, (Jogjakarta: Kansius,2013), h. 103
[2]
Lampiran Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011
[3]
Maria Farida Indrati S., Ilmu
Perundang-undangan jilid II
Proses dan Teknik Pembentukannya, h.115
[4]
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya
, h.138
[5]
Maria Farida Indrati S., Ilmu
Perundang-undangan jilid II
Proses dan Teknik Pembentukannya, h.142-143
[6]DR.
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, diunduh tanggal
13 oktober 2013, pukul 10.25 WIB
[7]
Maria
Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan
jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya, h. 108-109
[8]Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan jilid II Proses dan Teknik Pembentukannya,
h. 108-110
[9]Maria Farida
Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan jilid
II Proses dan Teknik Pembentukannya, hlm. 110
[10]
Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan, h.125
[11]
Maria Farida Indrati S., Ilmu
Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius,
2006), h.199
[12]
Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan, h.126
[13]
Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan, h. 127-129
[14]
Maria Farida Indrati S., Ilmu
Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, h.202-203
[15]
Maria Farida Indrati S., Ilmu
Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, h.208
[16]
Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2013), h.
95-97
[17]
Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan, h.109-111
[18]
Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan, h.111-112
[19]
Rahmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan, h.113-114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar